8 Cara Cepat Melupakan Mantan

Thursday, November 5, 2015

Adele kembali! Setelah menelurkan album "patah hati (21)" empat tahun lalu, penyanyi asal Inggris tersebut merilis album terbarunya, 25, akhir bulan November ini. Tapi, Adele sudah menayangkan satu lagu sebagai pengobat kerinduan penggemarnya. Hello. Dengerin, deh.


Siapa yang langsung teringat mantan sewaktu mendengar rintihan Halo dari Mbak Adele ini? Hayo, ngacung! Aduuuh, mantan lagi, mantan lagi! Kenapa sih sosoknya selalu membayang dalam ingatan dan memunculkan kembali kenangan indah bersamanya? Tenang, saya punya delapan cara menghilangkan pesona sang mantan dari pikiranmu. Sst, kamu yang tadinya nggak mau ngaku dan menyembunyikan telunjuknya di balik punggung, masih boleh, kok, menyimak.

1. Kamu perlu niat dan komitmen (untuk melupakan mantan) yang kuat. Pertarungan menghapus keberadaannya dari ingatan kamu lebih berat ketimbang ujian masuk universitas favorit. Lebih menguras tenaga ketimbang menggali sumur 88 meter. Jadi, hal paling mendasar yang perlu kamu lakukan adalah memiliki niat yang sungguh-sungguh. Jadi, kalau ditanyakan "Apakah kamu yakin ingin melupakannya?" Kamu harus menjawab, "I do" sambil membayangkan wajahnya yang paling jelek atau kelakuannya yang paling menyebalkan.

2. Berhenti mendengarkan lagu-lagu yang bertema mantan! Resapi, deh, lagu si Mbak di atas. Dijamin langsung teringat mantan bahkan buat yang nggak punya mantan sekalipun (puk puk buat jamaah jombloiyah). Musik dan suara Adele di lagu-lagunya memang sangat berkualitas sampai-sampai kita ikut-ikutan berempati dengan cerita patah hati si Mbak di album terdahulunya sampai single di atas. Tapi, capek juga, kan, kalau kamu langsung mewek-mewek sewaktu mendengar lagu-lagu bertema mantan ini. Pokoknya, hindari, deh. Kalau lagi di mal dan kebetulan DJ department store-nya memutarkan lagu Hello si Mbak, lebih baik kamu langsung naik kereta mainan yang sering berseliweran di mal. Siapa tahu ke Bandung Surabaya, boleh naik dengan percuma?
mainanfiberglass.com
3. Singkirkan semua benda kenangan kalian. Sayang, tahu. Ini, kan, potongan tiket nonton wayang ludruk waktu date pertama kami? Wah, kalau ada yang bereaksi seperti itu, mending balik lagi ke poin nomor 1, deh. Karena itu artinya kamu nggak benar-benar niat melupakan mantan. Mestinya gimana, dong? Singkirkan saja semua benda kenangan kalian, mau itu kaos couple atau kalung hadiah sekalipun. Ya, sayang, dong kan kalungnya mahal? Singkirkan bukan berarti dibuang. Kamu pilah-pilih dulu mana barang yang harus dikembalikan, dibuang, disumbangkan, atau dijual. Ada yang menganggap perhiasan (apalagi kalau merupakan warisan keluarga) dan sejenisnya sebaiknya dikembalikan, tapi ada juga yang beranggapan tidak perlu karena itu toh sudah menjadi hadiah untuk kamu. Lalu, bagaimana cara kamu menyeleksinya? Ikuti kata hati saja! Kalau hati kecilmu merasa tidak enak menyimpan barang itu, silakan kembalikan, buang, disumbangkan, atau dijual. Kok nggak ada pilihan "disimpan di dalam kotak kardus kenangan", sih? Aduuuh, kalau masih menanyakan itu, mending kembali ke pasal nomor satu, deh.

4. Minta mantan memelihara anjing penjaga galak. Kalau kamu masih bisa berkomunikasi dengannya, minta dia mengadopsi anjing penjaga plus pemburu baru yang supergalak terhadap orang asing. Gunanya, kalau kamu punya hasrat kepo dengan sok-sokan lewat depan rumahnya dan mengintip kegiatannya dari balik pagar, si anjing penjaga itu akan langsung menguber-uber kamu. Besok-besok, kamu pasti akan melupakan hasrat melihat-senyum-dan-tatapannya-untuk-yang-terakhiiir-kaliii-aja.

5. Ganti nomor dan akun media sosialmu lalu hapus juga akunnya. Nah, kalau tip sebelumnya sudah dilakukan, baru deh laksanakan langkah yang ini. Di handphone, tablet, netbook, sampai laptop kamu pasti masih terendus jejak sang mantan, baik itu nomor teleponnya, foto-foto selfie atau lagu yang ia nyanyikan saat sedang menggombalimu. Hapus semuanya. Nomor teleponnya, akun media sosialnya, bila perlu sampai akun media sosialmu dinon-aktifkan saja. Bersihkan daftar history dari komputer atau laptopmu. Karena kita tidak bisa memercayaimu untuk benar-benar melakukan langkah ini, saya sarankan agar teman kamu menjadi pengawas supaya kamu tidak curang.

6. Masih stalking akun media sosialnya? Nggak apa-apa, kok. Apa? Kamu langsung menarikan tarian Hula-Hula membaca saran ini. Ya mau bagaimana lagi? Menguntit update status mantan bisa menjadi salah satu kecanduan yang tertanam di otak kita. Cuma, yang namanya kecanduan itu, kan, nggak baik, ya? Makanya, kamu harus siapkan pula rem agar kebiasaan itu nggak merusak kehidupan kamu pascaputus dengannya. Selayaknya orang yang kecanduan, kurangilah sebanyak demi sebanyak dosis stalking akun media sosial pacarmu itu. Kalau di hari pertama, kamu menghabiskan waktu delapan jam mengintip Facebook-nya, di hari kedua coba hanya tiga jam saja. Sst, kamu yang mengikuti langkah kelima (menghapus akunnya), kemungkinan besar tidak bisa stalking gara-gara akun sang mantan dikunci privasi. Untung banget, ya. Jadi, hasrat kepo bisa diredam. Bagi yang curang di langkah kelima, sih, hati-hati saja jangan sampai baper (terbawa perasaan) atau merasa terluka melihat Twitternya mensyen-mensyenan mesra dengan orang lain.

7. Cari rebound? Jangan, ah. Banyak yang bilang cara cepat melupakan mantan, ya dengan mencari yang baru. Apa iya? Emosi kamu saja masih naik turun bak roller coaster, masa iya kamu mau menyambar orang lain saat roller coaster masih melaju? Yang ada kalau nggak kamu yang terseret jatuh atau sang rebound yang bersimbah darah. Intinya, hubungan semacam ini lebih banyak memunculkan luka dan sakit hati ketimbang bahagianya. Pikirkan juga seandainya kamu adalah si rebound dan akhirnya tahu kalau dijadikan pelarian saja, pasti rasanya sangat sangat nggak enak. Nggak adil lho kalau kita mencoba mengatasi kesedihan kita dengan membuat orang lain sedih. Dan, ingat-ingat deh, sesuatu yang didasari dengan niat yang nggak baik, biasanya hasilnya juga mengecewakan.

8. Bergerak aktif. Jika ada yang menyangsikan kebahagiaan tidak bisa dicapai dengan menikmati waktu sendirian, mereka pasti nggak pernah bergerak aktif. Saat berolah raga, tubuh kita akan memicu hormon endorfin, hormon yang disebut-sebut salah satu pencetus kebahagiaan. Jadi, ketimbang menangis semalam atau berdandan lalu selfie cuma untuk menunjukkan sang mantan, "Hey, aku cantik nih", lebih baik pakai sepatu dan lari ke mana saja (hindari sepanjang jalan kenangan kalau itu membuatmu mewek seharian). Pilih saja kegiatan yang memerlukan gerak aktif favoritmu! Jadi, buang jauh-jauh opsi mendengarkan musik (apalagi lagu cinta kenangan) atau menonton film drama romantis memilukan atau membaca novel cinta mengharukan. Sebaliknya, daftar klub kebugaran atau sambangi kolam renang dekat rumah kamu. Semakin kamu aktif, semakin kamu nggak punya waktu kosong untuk memikirkan atau melamunkan kenangan-kenangan bersama mantan. Lambat laun, dia pun memudar sedangkan kamu sibuk dengan bergaul dengan teman-teman baru dari kegiatan aktifmu yang baru. Sst, ketika kamu sudah siap untuk membuka hati, siapa tahu kekasih sejati kamu ternyata ada di antara mereka?

Inside Out: Semua Jenis Emosi Itu Ada Manfaatnya.

Friday, October 9, 2015

Inside Out dari Disney Pixar

Peringatan: Jika kamu belum menonton filmnya, sebaiknya berhenti, karena tulisan ini mengandung spoiler.

Sudah sejak lama saya ingin menonton film animasi yang berasal dari kreator yang sama dengan film Up tersebut. Tapi, karena kesibukan, baru kesampaian akhir-akhir ini. Film ini mengisahkan kesibukan Joy, Anger, Fear, Disgust, dan Sadness dalam mengelola emosi dan perasaan seorang anak perempuan bernama Riley. Joy menjadi semacam pemimpin bagi perasaan-perasaan yang lain. Tak heran, kalau ekspresi senang itu lebih memilih membentuk Riley menjadi pribadi yang bahagia. Setiap emosi negatif menyeruak di kepala Riley, Joy akan mencari cara agar perasaan itu berganti dengan kegembiraan semata. Dengan konsep #teamhappy ini, tak ada tempat bagi Sadness. Joy bahkan menciptakan lingkaran kecil "Sadness' Circle" agar emosi yang dianggap tidak berguna itu tetap berada di lingkaran itu sehingga tidak mengganggu misi #teamhappy. Akan tetapi, Sadness punya rasa ingin tahu yang besar. Ia memegang bongkahan memori inti dan mengakibatkan memori itu berubah warna menjadi biru yang melambangkan kesedihan. Joy yang tak rela Riley menyimpan memori kesedihan pun mencegahnya. Namun, emosi yang selalu ceria itu justru tersedot keluar dari markas besar bersama dengan Sadness. Dimulailah petualangan Joy dan Sadness untuk mencari jalan pulang.

Berapa orang di sini yang menginginkan perasaan "Selalu Bahagia"? Dijahati teman, cukup dijawab "It's okay. Aku tetap bahagia!" Kehilangan uang, "Ah, itu berarti aku akan dapat gantinya seribu kali lipat!" Apapun kondisinya, selalu tersenyum, selalu ceria. Selalu Bahagia!

Saya tidak seperti itu. Saya marah ketika mendapati orang merokok di tempat umum dan meracuni kaum bukan perokok. Saya menggerutu kepada mereka yang membuang sampah sembarangan. Saya sedih jika cerpen yang saya kirimkan untuk lomba, boro-boro menang, dilirik pun rasa-rasanya tidak. Saya berdebar ketakutan tatkala harus berbicara di depan umum. Saya jijik dengan jengkol dan petai. Dan sering sekali saya membiarkan emosi-emosi (yang dianggap negatif itu) mengambil alih. Tidak ditutupi. Tidak disembunyikan. Bahkan, suatu kali saya pernah diejek sebagai si penggerutu. Hahaha.

Sungguh berbeda dengan misi Joy dalam kepala Riley: apapun yang terjadi, harus happy happy joy joy. Namun, dalam petualangannya mencari jalan pulang bersama Sadness, Joy justru belajar bahwa emosi kesedihan itu pun ada manfaatnya. Tak jarang, ekspresi gembira yang ada di memori inti Riley justru didapatkan karena kemunculan Sadness. Contohnya, Joy hanya mengingat kegembiraan Riley dipeluk Mom dan Dad serta diangkat dan dielu-elukan oleh teman-teman grup hoki Riley. Padahal, di hari itu tim hoki Riley justru kalah. Sadness mengingat kekalahan itu sebagai hari yang paling menyenangkan. Ketika Riley bersedih, Mom dan Dad menghibur begitu pula teman-teman Riley sehingga akhirnya memori bahagia pun tercipta.

Menonton film ini, membuat saya senang. Akhirnya saya ada pendukungnya. Tak semuanya harus happy happy joy joy. Tak perlu menunjukkan "Selalu Bahagia" dan menumpuk emosi (yang dianggap negatif) lainnya di gudang emosi. Semua perasaan yang tercipta pada diri kita ada manfaatnya. Bahkan kesedihan sekalipun. Dari emosi (yang dianggap negatif itu), kita bisa mengambil pelajaran, menyurahkannya demi melegakan sesak di dada, sampai jadi pondasi kita untuk bangkit kembali menata hidup. Karena, berkat keberadaan kesedihan itulah kita tahu arti bahagia.

Happy Birthday, Hilary Duff

Monday, September 28, 2015

Dari si lucu Wendy (Casper Meets Wendy),

childstarlet.com

lalu si manis Lizzie McGuire,
fashionstyle.com
dan dewasa di majalah Maxim.
maxim.com

Selamat ulang tahun, Hilary Duff

7 Cara Meladeni Haters

Sunday, September 27, 2015

Istilah pada judul di atas bisa jadi baru ngetren beberapa tahun belakangan ini. Seiring era keterbukaan dan ramai-ramai menunjukkan jati diri di media sosial. Lambat-laun, seseorang dianggap keren jika populer di dunia maya itu. Penyanyi yang baru mencari tempat di industri hiburan, aktor yang berakting jempolan namun belum cukup untuk mendapatkan status bintang, komikus yang ingin memperluas jaringan, sampai si bukan-siapa-siapa yang ingin terkenal saja (sumpah yang terakhir ini bukan ngomongin Dijah Yellow, ya?). Semua tumpah ruah di ranah media sosial. Hasilnya, jika ada yang suka akan menjadikan sosok itu sebagai idola dan meraih kepopularitas (dunia maya) yang besar. Istilah selebtwit, selebgram, dan selebor pun bermunculan. ;-)

Jika ada yang menyukai tentu ada pula sebaliknya. Membenci. Karena sekarang ini jamannya keterbukaan, rasa suka dan rasa benci terhadap seseidola itu pun dengan bebas langsung tersampaikan. Layangkan saja unek-unek terhadap idola kita itu. Poninya terlalu miring, katakan "Dasar otak miring, poni juga ikut miring!" Tahi lalatnya mengganggu estetika foto yang diunggah, tuliskan "Kebo betah banget brot di muka lo!" Mention saja di Twitter. Tag saja akun Instagramnya.

Nah, mereka yang selalu melayangkan unek-unek inilah disebut haters. Di mata mereka, tokoh terkenal yang mereka kritik itu tidak pernah benar. Misalnya saja seorang aktor yang berubah penampilan dengan menumbuhkan rambut di atas bibir. Langsung saja banyak komentar yang mengejek penampilannya itu. Berkumis dibilang mirip teroris. Tapi, ketika klimis dikatakan sok manis. Jadi, aku kudu piye? jerit hati seorang idola.

Beruntunglah kamu para idola atau selebritas yang tidak sengaja mampir ke blog ini, karena berikut cara-cara yang bisa kamu lakukan dalam menghadapi haters.

1. Tidak semua kritik yang disampaikan kepadamu adalah ungkapan kebencian. Jadi, jangan sedikit-sedikit menyudutkan kalau mereka haters. Siapa tahu, mereka justru memberitahukan opini yang membantu keberlangsungan kariermu. "Nyanyinya seperti suara burung gagak," begitu komen di media sosialmu. Lalu, karena panas hati kamu langsung membalas, "Kamu saja kalau kentut fals. Nggak usah ngomongin orang. Dasar hater. Saya block kamu!" Jika mau, fokus saja kepada isi kritiknya. Kalau kamu bukan orang yang lapang dalam menerima kritik, lewatkan dan scroll saja komentar itu. Tidak usah dibaca.

2. Sampaikan maaf. Di negeri tercinta kita ini, hampir semua urusan bisa selesai dengan permohonan maaf (apalagi kalau diucapkan seseorang yang cantik atau ganteng aduhai). Kamu salah mengartikan "Tut Wuri Handayani" dengan "Walaupun berbeda-beda tapi satu jua", cukup meminta maaf saja. Pasti selesai, deh, urusannya. Tapi, kalau tidak mau mengaku salah dan mohon maaf? Lalu, defensif dengan mengatakan, "Sama saja kok artinya!"? Tenang, kamu masih bisa cengar-cengir gembira, kok. Saatnya mengerahkan pasukan penggemar alias fan militan untuk membelamu!

3. Membalas haters dan memojokkannya? Salah besar! Okelah, haters memang salah dalam hal penyampaian. Mungkin dari cara menata kalimatnya yang bikin kamu emosi atau di saat membaca komentar tersebut, kamu memang lagi sensitif. Tapi, kalau kamu terpancing emosi membalasnya dengan kalimat yang lebih kasar, waduh. Bisa-bisa justru kamu yang dinobatkan menjadi hater-nya hater. Merendahkan kasta idola atau selebritas, dong. Kalau rakyat jelata (baca: penggemar) mau foto bareng atau jabat tangan saja mesti bayar, kok. Lah, ini selebritasnya malah jadi hater orang biasa. Apa kata duniaaa?

4. Tuntutlah hater sampai dipenjara. Benar. Tanggung banget kalau berbalas pantun di media sosial. Sebagai artis atau selebritas papan seterikaan, tunjukkan kalau kamu itu hebat dan kuat karena minum Milo setiap hari (kalau merk yang saya sebutkan ini hendak mengucapkan terima kasih, saya akan kirim nomor rekening saya, ya :-p). Bukan hanya akting saja yang perlu totalitas, memburu hater juga harus. Kudu! Telusuri media sosial hater itu. Cari tahu kontaknya. Di mana rumahnya? Sekolahnya kelas berapa? Apa pekerjaan bapak ibunya? Masih lajang atau sudah bercucu segudang? (Penting!). Nah, kalau sudah dapat, umumkan ke seluruh dunia! "Ini lho si hater. Mukanya jelek. Rumahnya gubug. Orangtuanya kere!" Eits, biar tetap dianggap makhluk baik hati yang berhati seputih cat tembok Dulux (nomor rekening siap dikirimkan :-p), harus ditambahkan "Saya jadi tidak tega mengajukan gugatan. Saya kasihan kepada orangtuanya." Sst, jangan lupa minta para wartawan meliput dan memberitakan kejadian ini, ya.

5. Bercerminlah. Maksud saya, bukan introspeksi atau merenung, melainkan benar-benar bercermin. Tatap pantulan wajahmu di cermin dan tanyakan, "Cermin cermin di dinding, siapa di dunia ini yang paling cantik dan memesona?" Niscaya cermin akan menjawab, "Cuma kamu seorang, wahai artis/idola/seleb kesayangan. Kalau ada yang bilang sebaliknya, itu berarti mereka sirik dan dengki!" Lalu, jawaban cermin yang ketakutan dipecahkan itupun (walau bagaimana pun dia hanya cermin kalau jawab yang lain, pasti tamat riwayatnya), jadikan itu patokanmu dalam membalas hater. Ada yang berkomentar, "Kakak, warna rambutnya kurang rata" balas saja dengan, "Saya ini cantik. Mau rambut belang bonteng juga tetap kece. Memangnya kamu? Jelek dari lahir!" Kalau masih ada yang menyahut, "Tapi, kan, jadi kelihatan kusam. Perlu di-retouch kali, Kak," kasih serangan lanjutan, "Sirik saja kamu. Dengki kok dipelihara!" lalu block saja akunnya agar tidak bisa kasih komentar lagi.

6. Gunakan jasa admin. Para selebritas, kamu harus sadar diri. Pekerjaan utama kamu adalah penyanyi/aktor/komikus/penjual buah nan ganteng/mbok pecel yang cantik ala Cam 360-nya nggak ketulungan/dll. Jadi, wajar-wajar saja kalau kamu tidak piawai menghadapi "mulut-mulut" yang berteriak di Twitter, "tangan-tangan" yang mencolek di Instagram, atau bahkan mantan komentator pertandingan sepak bola yang kehilangan pekerjaan setelah PSSI dibekukan. Tidak perlu malu apabila menyewa jasa administator yang mengelola akun media sosialmu. Malah, kamu justru terbantu, lho. Admin bisa menyeleksi kritik atau opini yang akan kamu dengar. Tentunya sudah disensor sehingga bebas dari kata-kata yang kurang mengenakkan. Jika kamu mengizinkan, admin sesekali bisa diperintahkan membalas komentar dengan kalimat standar customer service, "Maaf atas ketidaknyamanannya" atau "Terima kasih atas masukannya".

7. Tidak usah punya akun media sosial. Kalau kamu penyanyi, biarkan label atau manajemen yang mengurus promosi hasil-hasil karyamu. Begitupun jika kamu aktor. Buat si penjual buah ganteng, ya mungkin buahnya disuruh mengabarkan ke seluruh dunia tentang kegantenganmu itu. Istilah bekennya, sih, biarkan kemampuan atau karyamu yang menonjol. Yang membuatmu dibicarakan. Bukan keahlianmu twit war dengan selebritas lain atau kecanggihan telepon pintarmu yang memiliki aplikasi Bantai Haters.

Intinya, meladeni haters itu tidak perlu ikutan panas hati. Santai saja sekalem kamu senyum-senyum merasa bangga ketika membaca puja-puji dari para penggemar garis keras. Maklumi saja, kalau ada penggemar yang berlebihan dalam mengekspresikan kesukaannya terhadapmu, tentu ada saja hater yang juga berlebihan mengungkapkan opininya. Semangat ya, saaay!

Hey, It's OK to Talk About Depression

Friday, September 25, 2015

Tadi malam, saya membaca Majalah Glamour Edisi Desember 2014. Tulisan di Rubrik G Reality majalah itu sangat menyentuh. Seorang pembaca mengisahkan musibah yang terjadi kepada ayah dan adiknya dari sudut pandangnya sendiri. November 2013 lalu, Gus Deeds tiba-tiba menikam ayahnya dan kemudian bunuh diri. Untuk lebih jelasnya, bisa dibaca di sini atau mencari beritanya lewat situs pencarian Google.

Bagaimana mungkin, seorang anak yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang berniat membunuh ayahnya sendiri? Dari penuturan Rebecca di majalah tersebut, penyebab perilaku Gus ada kaitannya dengan kesehatan mental. Adiknya itu telah didiagnosa menderita Bipolar Disorder, tiga tahun sebelum peristiwa memilukan itu terjadi. Namun, Gus adalah orang dewasa, dan menurut hukum, keluarga tidak akan diberitahu urusan pribadi berkaitan dengan kesehatan itu apabila tidak diinginkan oleh sang pasien. Hubungan Rebecca dengan adiknya pun memburuk karena Gus tidak menjawab teleponnya dan menolak berkomunikasi. Sayangnya, pada saat itu Rebecca tidak menyadari bahwa yang dilakukan adiknya adalah menarik diri karena telah menyerah kalah.

"Now I know he was trying to push me away so he could give up on himself, but at the time it was devastating."
Saya sedikit mengerti dengan apa yang dikisahkan oleh Rebecca di majalah itu. Sebagai anggota keluarga yang selama ini melihat adiknya baik-baik saja (anak yang aktif, pergaulan luas, selalu ceria, dan senang bercanda), mungkin beliau tidak menyangka bahwa adiknya merasa menderita di dalam hati. Lalu, kenapa seseorang yang terlihat gembira itu justru didiagnosa dengan penyakit kejiwaan?

Saya tidak tahu dengan pasti jawabannya karena saya bukan psikiater ataupun sang ahli.

Namun, membaca artikel itu membuat saya tersadar. Terbangun dari kenyataan bahwa semua orang dalam masyarakat kita tidak baik-baik saja. Ada teman di luar sana yang terlihat ceria, namun menyimpan kedukaan dan kekosongan dalam hatinya. Ada kenalan yang bersembunyi di balik topeng kebahagiaan agar tidak dianggap rendah oleh masyarakat. Tidak digunjingkan, tidak dicibir, atau dipermalukan. Ada anggota famili yang berteriak meminta tolong tapi kita abaikan hanya karena tak mau dicap abnormal. Tak sudi satu keluarga dengan orang gila.

Depresi. Sebuah kondisi psikologis yang erat kaitannya dengan kesedihan dan perasaan kosong melompong pada kejiwaan kita. Lebih lanjut tentang depresi bisa dibaca di sini. Sering sekali kita surukkan ke bagian belakang hati kita. Bukan untuk diperkecil tapi hanya disembunyikan jangan sampai orang lain menemukannya. Akan tetapi, sebongkah depresi itu bukannya semakin menghilang namun perlahan-lahan tumbuh lalu memenuhi ruang hati kita. Mengikis rasa bahagia.

Pada satu kolom kecil di Majalah Glamour yang saya baca itu, ada tulisan yang mengajak pembacanya untuk sama-sama menanggulangi depresi atau kesehatan mental lainnya. Yuk, kita bercerita. Kita ungkapkan kegelisahan kita. Tidak apa-apa, lho, membicarakan tentang depresi ini. Kita tidak akan dicap tidak normal. Tidak akan dianggap gila. Dan tidak akan ada pandangan meremehkan dari masyarakat. Ada nomor online yang bisa dihubungi. Ada kontak tenaga ahli (psikiater, psikolog, dll) yang akan membantu. Mari saling menjaga satu sama lain, karena semua orang berhak bahagia.

Fans Militan

Sunday, July 5, 2015

Fans militan adalah sebutan yang saya berikan kepada penggemar yang begitu membabi-buta mengidolakan seseorang; biasanya penyanyi/artis/TV personality, dan semacamnya. Jika artis idolanya dikritik penampilannya (meskipun dengan bahasa halus dan sopan), fans militan ini akan berbalik mengolok-olok di pemberi kritik. Ya, benar. Bukannya mengajukan argumen bantahan (atas kritik seputar karya/hasil kerja artis tersebut, sang fans militan justru mengolok-olok dan merundung personal si pemberi kritik. Oh ya, biasanya, fans militan ini eksis dan bergerilya di media sosial.

Tadinya, saya pikir fans militan hanya dipunyai satu-satunya oleh Agnes Monica. Ternyata, artis Indonesia lain pun banyak fans militannya. Bukan hanya artis papan atas atau sekuter, satu kelompok (belum menyandang status sebagai) penyanyi seperti Jebe & Petty pun punya fans militan. Ha...ha...ha.

Jadi, begini. Saya sebagai pencinta musik, tentu saja ingin mengetahui berita terkini tentang musik. Berhubung, sekarang ini yang lagi menyedot perhatian adalah penyelenggaraan X Factor 2, tentu saja saya sesekali mengikutinya. Saya tidak menonton secara langsung karena saya tidak mau mengambil bagian dalam memberikan rating tinggi terhadap televisi yang visi misinya tidak sesuai dengan prinsip idealis saya. Tapi, sesekali saya mengikuti perkembangannya lewat Youtube.

Waktu itu,entah penampilan minggu keberapa di X Factor, Jebe & Petty menyanyikan lagu Uptown Funk-nya Mark Ronson feat. Bruno Mars. Menyaksikannya, secara spontan saya berkomentar apa yang mengganjal di benak (tentu dibatasi tentang penampilan si artis, tidak lebih dari itu) di kolom komentar Youtube. Antara lain, menurut saya permainan drum Jebe adalah penampilan usus buntu. Bahwa jika sesi permainan drum itu dihilangkan, tidak berpengaruh apa-apa terhadap penampilannya. Lain halnya, jika sesi bermain itu mengawali intro lagu Uptown Funk, setidaknya menyatu dengan musiknya dan tidak terpotong begitu saja (meskipun dalam durasi yang singkat). Saya juga mengkritik musik DJ yang sangat tidak uptown funk. Begitupun tempo yang kejar-kejaran antara menyanyi dan musiknya. Belum lagi ekspektasi tinggi seputar koreografi yang digembar-gemborkan di awal video perkenalan. Saya menyangka Jebe & Petty akan melakukan dance rutin uptown funk. Ternyata tidak sama sekali.

Saya pikir, komentar itu akan direnungkan. Dan jika ada yang tidak setuju, bisa berargumen secara sehat. Misalnya dengan mengatakan, "Permainan drum itu pertanda Jebe mau belajar dan menampilkan kemampuannya yang lain selain bernyanyi" atau semacam itulah. Intinya terkait dengan artis dan penampilannya saat itu saja. Eh, ternyata ada penggemar yang tidak terima idolanya dikritik sedemikian. Mereka balas mengata-ngatai saya. Menyuruh saya mencuci piring (tentu sebagai asumsi saya adalah pembantu rumah tangga). Ada lagi yang mengatakan saya tidak usah banyak komentar karena saya nonton gratis. Dan lain sebagainya yang lucu-lucu.

Keberadaan fans militan ini memang mewarnai industri hiburan. Saya yakin, para artis itu sebenarnya sebel-sebel bangga dengan adanya mereka. Coba, siapa yang tidak senang ada orang-orang yang setiap saat memuji-muji dirimu? Tapi ingat, pujian yang memabukkan itu biasanya yang menjatuhkan dan bikin terkapar. Kalau sudah begitu, bisa-bisa fans militan hanya berkomentar, "Wah, kakak jatuhnya keren banget. Penuh penghayatan. Jatuh terus begitu saja, Kak!" tanpa berusaha menolongmu bangkit dari keterpurukan.

Jangan Punya Anak!

Wednesday, June 17, 2015

Indonesia sedang berduka karena kasus Engeline. Sekilas kronologinya bisa dibaca di sini.

Tragedi tewasnya Engeline membuka mata berbagai pihak akan rentannya keselamatan anak-anak di negara ini. Bukan hanya yang disebabkan oleh orang luar, melainkan juga oleh keluarga dekat sang anak. Miris. Anak kecil dihadirkan oleh orangtuanya di dunia ini hanya untuk disia-siakan. Shame on you, para orangtua!

Berbicara tentang hubungan anak-anak dan orangtua, saya akui saya memang memiliki pandangan yang ekstrem dibandingkan yang lain. Apabila sang anak tidak tumbuh dan berkembang dengan baik, saya pasti acungkan jari pertama kepada orangtua. Sesimpel seorang ibu menyuruh anak pertamanya yang SD untuk menjaga adiknya yang balita terus-terusan, saya sudah berpendapat itu salah. Ya, saya akui memang ekstrem. Itu karena saya beranggapan orangtua adalah makhluk dewasa yang seharusnya berpikir masak-masak sebelum menghadirkan seorang nyawa baru di dunia ini. Siapa yang merawat? Bagaimana pendidikannya? Seperti apa pola pengasuhannya? Dan masih banyak pertanyaan lagi yang seharusnya sudah ada jawaban dan rencana sebelum makhluk kecil tersebut lahir ke dunia.

Kenyataannya, tidak semua orangtua berpikir masak-masak. Coba saja, tanya kepada diri sendiri dulu: Apa alasan Anda ingin punya anak? Agar rumah tidak sepi? Seolah-olah anak adalah barang atau hewan peliharaan yang memenuhi kediaman. Agar ada yang merawat ketika sudah beranjak tua? Seolah-olah anak sudah disiapkan untuk memastikan sang orangtua hidup nyaman. Untuk mengingat kesetiaan suami? Seakan-akan, anak kecil menjadi posisi tawar agar suami tidak menceraikan. Karena sudah ditanya-tanya oleh mertua? Hah. Konyol bukan? Semua itu menurut saya, adalah alasan dangkal yang seharusnya bukan menjadi tujuan utama seseorang untuk memiliki anak, menghadirkan makhluk baru tanpa dosa di dunia ini.

Seterusnya, apakah Anda memikirkan bagaimana perawatan sang anak tersebut? Anak bukanlah barang yang jika rusak bisa simpan di gudang. Merawat anak adalah komitmen seumur hidup. Tak boleh berhenti. Tak boleh lengah. Jika berencana sang anak harus hidup mandiri di usia 18, bagaimana perilaku orangtua sebelum itu agar si anak benar-benar mandiri di usia yang dimaksud? Pola asuh seperti apa yang digunakan? Pembelaan "Dipikirkan saja nanti" bukan jawaban. Seorang anak tidak meminta dilahirkan. Tidak memaksa sang orangtua untuk menghadirkannya ke dunia ini. Namun, ketika memasuki dunia yang kejam ini, sang anak justru diabaikan dan ditelantarkan. Shame on you, para orangtua!

Ya, ya, salahkan nasib padahal sebenarnya keputusan adalah di tangan para orangtua. Jika tidak sanggup membesarkan anak dengan baik, ya jangan punya anak. Sesederhana itu. Jika alasan-alasan "Tapi nanti rumah sepi." atau "Apa kata mertua nanti?" atau "Siapa yang merawat kami kelak?" menyeruak di kepala, patahkan dengan pertanyaan penting. "Sanggupkah Anda membesarkan dan merawatnya dengan baik?" Jika jawabannya ya, segalanya tak perlu dipertanyakan. Rumah tak lagi sepi dengan kehadiran bocah mungil dan sebagainya, itu semata-mata adalah efek positif, bukan merupakan tujuan.

Maafkan apabila saya terlalu keras menuding orangtua. Saya hanya gemas membaca bagaimana orangtua kandung Engeline segampang itu menyerahkan anaknya. Menuding keadaan. Benar-benar olok-olok! Dia pernah hamil dan tahu tidak bisa mengurusnya. Anak pertama diserahkan ke orang lain (meskipun keluarga dekat). Dengan keadaan sebelumnya itu, dia bertekad untuk hamil lagi? Setelah Engeline, dia juga melahirkan sampai anak keempat? Bagaimana bisa menyalahkan keadaan tak punya uang tapi tetap menghadirkan manusia lain di dunia ini? Ayolah, Anda bisa tidak hamil. Tidak melahirkan. Atau bahkan tidak berhubungan intim. Banyak cara. Tapi, tolonglah. Jangan berani punya anak kalau tidak punya rencana atau strategi agar anak tersebut sukses di masa depannya. Benar-benar jangan!

Ngomongin Orang

Wednesday, June 10, 2015

Seorang teman curhat. Katanya dia sebal karena diomongin di belakang sama salah seorang kenalannya (kalau tidak mau menyebut orang itu sebagai teman). Dengan berapi-api, dia ungkapkan kekecewaan. Betapa dia tidak menyangka akan menjadi korban kejahatan 'temannya' itu.

Saya pernah berada dalam posisi teman saya itu. Tapi, saya juga pernah berada dalam posisi yang ngomongin orang lain. Menurut saya, manusia memang tidak lepas dari saling menggunjingi sesamanya. Masalah kadar dan caranya, tentu masing-masing berbeda. Itu tak terelakkan karena manusia adalah makhluk sosial. Mereka tumbuh dan bersosialisasi. Mereka akan memperbincangkan apapun kepada lawan bicara; ide, rencana, sampai... ya perihal orang lain.

Oleh sebab itu, masalah ngomongin orang tidak pernah saya tanggapi serius. Bagi saya, selama tidak mengancam keselamatan atau mengganggu kestabilan finansial, silakan saja menjadikan saya obyek omongan.