Jangan Punya Anak!

Wednesday, June 17, 2015

Indonesia sedang berduka karena kasus Engeline. Sekilas kronologinya bisa dibaca di sini.

Tragedi tewasnya Engeline membuka mata berbagai pihak akan rentannya keselamatan anak-anak di negara ini. Bukan hanya yang disebabkan oleh orang luar, melainkan juga oleh keluarga dekat sang anak. Miris. Anak kecil dihadirkan oleh orangtuanya di dunia ini hanya untuk disia-siakan. Shame on you, para orangtua!

Berbicara tentang hubungan anak-anak dan orangtua, saya akui saya memang memiliki pandangan yang ekstrem dibandingkan yang lain. Apabila sang anak tidak tumbuh dan berkembang dengan baik, saya pasti acungkan jari pertama kepada orangtua. Sesimpel seorang ibu menyuruh anak pertamanya yang SD untuk menjaga adiknya yang balita terus-terusan, saya sudah berpendapat itu salah. Ya, saya akui memang ekstrem. Itu karena saya beranggapan orangtua adalah makhluk dewasa yang seharusnya berpikir masak-masak sebelum menghadirkan seorang nyawa baru di dunia ini. Siapa yang merawat? Bagaimana pendidikannya? Seperti apa pola pengasuhannya? Dan masih banyak pertanyaan lagi yang seharusnya sudah ada jawaban dan rencana sebelum makhluk kecil tersebut lahir ke dunia.

Kenyataannya, tidak semua orangtua berpikir masak-masak. Coba saja, tanya kepada diri sendiri dulu: Apa alasan Anda ingin punya anak? Agar rumah tidak sepi? Seolah-olah anak adalah barang atau hewan peliharaan yang memenuhi kediaman. Agar ada yang merawat ketika sudah beranjak tua? Seolah-olah anak sudah disiapkan untuk memastikan sang orangtua hidup nyaman. Untuk mengingat kesetiaan suami? Seakan-akan, anak kecil menjadi posisi tawar agar suami tidak menceraikan. Karena sudah ditanya-tanya oleh mertua? Hah. Konyol bukan? Semua itu menurut saya, adalah alasan dangkal yang seharusnya bukan menjadi tujuan utama seseorang untuk memiliki anak, menghadirkan makhluk baru tanpa dosa di dunia ini.

Seterusnya, apakah Anda memikirkan bagaimana perawatan sang anak tersebut? Anak bukanlah barang yang jika rusak bisa simpan di gudang. Merawat anak adalah komitmen seumur hidup. Tak boleh berhenti. Tak boleh lengah. Jika berencana sang anak harus hidup mandiri di usia 18, bagaimana perilaku orangtua sebelum itu agar si anak benar-benar mandiri di usia yang dimaksud? Pola asuh seperti apa yang digunakan? Pembelaan "Dipikirkan saja nanti" bukan jawaban. Seorang anak tidak meminta dilahirkan. Tidak memaksa sang orangtua untuk menghadirkannya ke dunia ini. Namun, ketika memasuki dunia yang kejam ini, sang anak justru diabaikan dan ditelantarkan. Shame on you, para orangtua!

Ya, ya, salahkan nasib padahal sebenarnya keputusan adalah di tangan para orangtua. Jika tidak sanggup membesarkan anak dengan baik, ya jangan punya anak. Sesederhana itu. Jika alasan-alasan "Tapi nanti rumah sepi." atau "Apa kata mertua nanti?" atau "Siapa yang merawat kami kelak?" menyeruak di kepala, patahkan dengan pertanyaan penting. "Sanggupkah Anda membesarkan dan merawatnya dengan baik?" Jika jawabannya ya, segalanya tak perlu dipertanyakan. Rumah tak lagi sepi dengan kehadiran bocah mungil dan sebagainya, itu semata-mata adalah efek positif, bukan merupakan tujuan.

Maafkan apabila saya terlalu keras menuding orangtua. Saya hanya gemas membaca bagaimana orangtua kandung Engeline segampang itu menyerahkan anaknya. Menuding keadaan. Benar-benar olok-olok! Dia pernah hamil dan tahu tidak bisa mengurusnya. Anak pertama diserahkan ke orang lain (meskipun keluarga dekat). Dengan keadaan sebelumnya itu, dia bertekad untuk hamil lagi? Setelah Engeline, dia juga melahirkan sampai anak keempat? Bagaimana bisa menyalahkan keadaan tak punya uang tapi tetap menghadirkan manusia lain di dunia ini? Ayolah, Anda bisa tidak hamil. Tidak melahirkan. Atau bahkan tidak berhubungan intim. Banyak cara. Tapi, tolonglah. Jangan berani punya anak kalau tidak punya rencana atau strategi agar anak tersebut sukses di masa depannya. Benar-benar jangan!

0 comments:

Post a Comment