Hey, It's OK to Talk About Depression

Friday, September 25, 2015

Tadi malam, saya membaca Majalah Glamour Edisi Desember 2014. Tulisan di Rubrik G Reality majalah itu sangat menyentuh. Seorang pembaca mengisahkan musibah yang terjadi kepada ayah dan adiknya dari sudut pandangnya sendiri. November 2013 lalu, Gus Deeds tiba-tiba menikam ayahnya dan kemudian bunuh diri. Untuk lebih jelasnya, bisa dibaca di sini atau mencari beritanya lewat situs pencarian Google.

Bagaimana mungkin, seorang anak yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang berniat membunuh ayahnya sendiri? Dari penuturan Rebecca di majalah tersebut, penyebab perilaku Gus ada kaitannya dengan kesehatan mental. Adiknya itu telah didiagnosa menderita Bipolar Disorder, tiga tahun sebelum peristiwa memilukan itu terjadi. Namun, Gus adalah orang dewasa, dan menurut hukum, keluarga tidak akan diberitahu urusan pribadi berkaitan dengan kesehatan itu apabila tidak diinginkan oleh sang pasien. Hubungan Rebecca dengan adiknya pun memburuk karena Gus tidak menjawab teleponnya dan menolak berkomunikasi. Sayangnya, pada saat itu Rebecca tidak menyadari bahwa yang dilakukan adiknya adalah menarik diri karena telah menyerah kalah.

"Now I know he was trying to push me away so he could give up on himself, but at the time it was devastating."
Saya sedikit mengerti dengan apa yang dikisahkan oleh Rebecca di majalah itu. Sebagai anggota keluarga yang selama ini melihat adiknya baik-baik saja (anak yang aktif, pergaulan luas, selalu ceria, dan senang bercanda), mungkin beliau tidak menyangka bahwa adiknya merasa menderita di dalam hati. Lalu, kenapa seseorang yang terlihat gembira itu justru didiagnosa dengan penyakit kejiwaan?

Saya tidak tahu dengan pasti jawabannya karena saya bukan psikiater ataupun sang ahli.

Namun, membaca artikel itu membuat saya tersadar. Terbangun dari kenyataan bahwa semua orang dalam masyarakat kita tidak baik-baik saja. Ada teman di luar sana yang terlihat ceria, namun menyimpan kedukaan dan kekosongan dalam hatinya. Ada kenalan yang bersembunyi di balik topeng kebahagiaan agar tidak dianggap rendah oleh masyarakat. Tidak digunjingkan, tidak dicibir, atau dipermalukan. Ada anggota famili yang berteriak meminta tolong tapi kita abaikan hanya karena tak mau dicap abnormal. Tak sudi satu keluarga dengan orang gila.

Depresi. Sebuah kondisi psikologis yang erat kaitannya dengan kesedihan dan perasaan kosong melompong pada kejiwaan kita. Lebih lanjut tentang depresi bisa dibaca di sini. Sering sekali kita surukkan ke bagian belakang hati kita. Bukan untuk diperkecil tapi hanya disembunyikan jangan sampai orang lain menemukannya. Akan tetapi, sebongkah depresi itu bukannya semakin menghilang namun perlahan-lahan tumbuh lalu memenuhi ruang hati kita. Mengikis rasa bahagia.

Pada satu kolom kecil di Majalah Glamour yang saya baca itu, ada tulisan yang mengajak pembacanya untuk sama-sama menanggulangi depresi atau kesehatan mental lainnya. Yuk, kita bercerita. Kita ungkapkan kegelisahan kita. Tidak apa-apa, lho, membicarakan tentang depresi ini. Kita tidak akan dicap tidak normal. Tidak akan dianggap gila. Dan tidak akan ada pandangan meremehkan dari masyarakat. Ada nomor online yang bisa dihubungi. Ada kontak tenaga ahli (psikiater, psikolog, dll) yang akan membantu. Mari saling menjaga satu sama lain, karena semua orang berhak bahagia.

0 comments:

Post a Comment