Review Film Ini Kisah Tiga Dara

Thursday, September 8, 2016

Minggu lalu, saya menonton film yang terinspirasi dari film jadul Tiga Dara. Saya tidak akan membandingkan karya Nia Dinata ini dengan versi Usmar Ismail dengan alasan ini bukan remake. Dan, karena saya juga belum menonton film Tiga Dara karya Usmar Ismail tersebut.

Peringatan: pada ulasan di bawah ini akan banyak sekali spoiler. Jadi, jika tidak ingin membaca, silakan menutup blog ini:-).

Lagi-lagi, kisah perempuan yang dianggap harus mempunyai sosok pria di sampingnya. Tidak boleh melajang. Meskipun itu membahagiakan. Temanya sebenarnya menarik, tapi eksekusinya yang saya rasakan sepanjang film, sangat tidak asyik.

1. Saya tidak mengerti kenapa Oma (Titiek Puspa) yang terlihat gaul dan punya banyak teman juga piawai bersosialisasi mentok hanya dengan "menyodorkan" cucu perempuannya itu kepada para tamu hotel? Pertama, mengenalkan Gendhis (Shanty Paredes) kepada rekan bisnis Ayah (Ray Sahetapy). Namanya juga kenalan ayah Tiga Dara, masa iya tidak terpikir kalau laki-laki yang hendak dicomblangin itu pasti sudah pada punya istri dan berperut buncit? Gendhis malah ditimbang untuk jadi istri kedua. Itupun kalau istri pertama menyetujui. Kedua, tanpa ada juntrungan Oma mencari tahu tentang Yudha (Rio Dewanto), tamu hotel yang katanya akan menginap di hotel butik milik keluarga Tiga Dara. Oma ingin cucu nomor satunya itu berkenalan dengan sang tamu antah-berantah tersebut. Yang hanya diketahui telah mengirim motor gedenya terlebih dahulu ke hotel sebelum orangnya sendiri sampai.

2. Adegan tertabrak kemudian saling tertarik itu sangat sinetron/FTV sekali. Tahu, sih, inspirasinya adalah Tiga Dara yang juga mengetengahkan adegan tersebut. Tapi, ini, kan katanya lika-liku kisah cinta tiga perempuan yang kekinian? Masa tidak menciptakan adegan yang kekinian juga, sih? Saya akan lebih tertarik kalau perkenalan Gendhis dengan Yudha melibatkan rusaknya motor gede laki-laki itu. Yaaah, mungkin Gendhis yang kesal karena motor gede yang tersimpan di hotel itu menghalangi aktivitasnya mengambil stok makanan di gudang. Atau, secara tidak sengaja Gendhis menabrak motor gede itu. Hahaha. Saya memang sebal sama keberadaan motor gede yang tidak begitu berkaitan dengan sisi cerita. Itu, dan pemikiran laki-laki macam apa yang mengirimkan motor gedenya terlebih dahulu sebelum sang pemilik sampai ke tempat wisata? Laki-laki manja yang harusnya ditenggelamkan ke tengah laut Maumere. Laki-laki yang khawatir di tempat tujuannya tidak mampu meminjam/menyewa kendaraan untuk akses bepergian. Laki-laki sombong yang tidak mau membaur dan menggunakan transportasi lokal untuk berpindah tempat.

3. Oma adalah pribadi yang kolot dan masih memegang norma-norma. Yang kebelet punya cicit sehingga berusaha mencarikan laki-laki agar menikahi Gendhis. Yang pernah menyindir Manda (Cut Mini) dengan kata-kata perempuan yang terlalu mandiri tidak akan dilirik laki-laki. Yang ngotot kalau adik-adik Gendhis tidak boleh menikah duluan melangkahi kakak mereka. Oma yang dalam satu adegan digambarkan masih melakukan sholat. Bayangkan, Oma yang sama memergoki cucu bungsunya, Bebe (Tatyana Akman) bercumbu mesra dengan Erick, bule traveler yang juga tamu hotel (Richard Kyle). Apa yang Oma lakukan? Membunuh Erick? Mengusir bule tidak jelas itu? Mengurung Bebe dalam menara tinggi selama 100 tahun? Tidak. Oma pura-pura saja marah dengan omelan lembut bersahaja. Kenapa saya katakan pura-pura? Ya, tidak ada satupun kemarahan dari seseorang yang kolot dan masih menjaga norma-norma dilontarkan kepada Erick dan Bebe. Bahkan, sepanjang film sisanya, dua sejoli itu kerap cium-ciuman di manapun, tapi Oma membiarkan saja.

4. Adegan mesra yang berlebihan. Perlu lebih dari dua adegan cumbu antara Bebe dan Erick untuk menggambarkan bahwa Bebe adalah cewek 19 tahun yang binal. Yang memilih mengumbar napsunya di mana saja dan kapan saja. Terus-terang, ini bikin saya muak, lho. Tapi, tunggu dulu. Bagi sutradara ternyata itu belum cukup. Kenapa? Karena ketika fokus adegan bukanlah Bebe, melainkan Gendhis yang sedang membakar ikan misalnya, tapi tetap harus menampilkan Bebe dan Erick yang bermesraan sebagai latar belakang. Awalnya, saya bingung mengapa perlu seekstrem itu untuk menggambarkan kebinalan seseorang. Yang sedikit sekali pengaruhnya dalam menggiring cerita. Tapi, ternyata alasannya adalah untuk eksistensi sang sutradara Nia Dinata di sini, yang menggambarkan Bebe adalah seperti dirinya.

5. Bebe, si cewek binal itu hamil. Ya, iyalah. Tapi, kalau kalian mendengar cara cewek binal itu mengabarkan berita kepada Erick. Ketika sedang berdansa dan melibatkan pembicaraan dengan sesuatu yang besar, -dalam konteks vulgar tentu karena Bebe, kan, binal-. Bukan, bukan itu, demikian kata Bebe berbisik bahwa ia sudah hamil tiga bulan. Rupanya, Erick yang sangat Barat mendadak ingin menikahinya. Tapi, Bebe si anak 19 tahun cepat-cepat menolak. Tidak perlu mengawininya hanya karena dia hamil.

6. Lalu, apa kata Oma ketika Bebe menganggap harus pada saat itu juga mengabarkan kehamilannya kepada Oma? Meskipun mendapat berita ketika Oma sedang santai menikmati laut, tetap saja Oma pingsan. Ya iyalah, Oma, kan, kolot. Masa cucu nomor tiga yang dia bangga-banggakan, kok, hamil duluan, sudah tiga bulan, seperti sebuah lagu dangdut? Eh, tapi, pura-pura, deng. Karena tidak sampai semenit kemudian, Oma bangun kembali.

7. Interaksi Gendhis dan Yudha yang menyedihkan. Resep sebuah cerita romansa adalah chemistry dua pemainnya yang kental. Dari awal, penonton sudah tahu bahwa sejoli tersebut akan bersatu. Tapi, yang membuat penonton akan terlena adalah interaksi kedua tokoh itu. Dari awalnya yang tidak saling suka sehingga lambat-laun saling mencinta. Tapi, di film ini, Shanty Paredes dan Rio Dewanto tidak menunjukkan hal tersebut. Dialog antara keduanya yang sudah rumit, tidak didukung dengan ekspresi wajah mereka yang percaya akan kata-kata tersebut. Ibaratnya, Shanty dan Rio seperti mengucapkan skrip saja. Momen-momen manis yang diciptakan pun tidak menempel dalam benak. Perubahan sikap Gendhis dari yang awalnya membenci kemudian menyukai berlangsung tidak meyakinkan. Rasanya terlalu gampang jika perubahan itu hanya karena obrolan tentang mimpi di sebuah menara kayu.

8. Lho, dari tadi, kok, ngomongin Gendhis dan Bebe melulu? Ella (Tara Basro) mana Ella? Tentu saja karena tokoh Ella di sini gampang dilupakan. Kalau tujuannya memang menggambarkan Ella sebagai anak tengah yang tidak dipedulikan, berarti film ini berhasil. Tapi, kalau kehadiran Ella dimaksudkan sebagai salah satu halangan Gendhis dalam meraih tujuannya, film ini gagal total. Dalam interaksi Gendhis dan Yudha, sedianya Ella dihadirkan sebagai hambatan. Ella juga menyukai Yudha, pemilik jaringan hotel ternama. Mengapa Ella yang digambarkan ladylike ini ingin "merebut" Yudha dari Gendhis? Menurut Bebe, karena kakaknya itu kompetitif kalau menyangkut Gendhis. Sebenarnya, konflik yang intens dan lebih menarik bisa didapatkan dari persaingan dua saudara ini. Tapi, film ini tidak ingin menggali konflik yang lebih dalam. Film ini dimaksudkan riang, ringan, dan bernyanyi-nyanyi saja ibarat anggota yang dihembuskan asap asfat di Padepokan Brajamusti. Oleh sebab itu, dengan gampangnya Ella melupakan ketertarikannya kepada Yudha. Padahal, sebelumnya gadis itu digambarkan menggoda Yudha kapanpun ada kesempatan. Dengan mudahnya pula, hubungan Ella dan Gendhis yang sebelumnya tegang karena rebutan cowok, mencair begitu saja pada adegan Ella menyuruh kakaknya itu pergi menyusul Yudha.

9. Film ini adalah film musikal. Tapi, pengertian musikal di sini tampaknya diterjemahkan sebatas melagukan kata-kata. Tidak peduli kata tersebut cocok dengan musiknya. Para pelantun ketika sedang menyanyikan sebuah nomor musik pun, tidak sinkron menyuarakan aktingnya. Misalnya, Shanty yang bernyanyi di Pasar Geliting hanya sebatas menceritakan dia berbelanja di pasar tersebut. Atau ketika Bima (Ruben Elishama) bernyanyi di bawah naungan bintang-bintang dengan raut wajah datar. Padahal, ketika itu Bima, kan, sedang melantunkan perasaan cinta diam-diamnya selama ini kepada Ella. Tapi, film ini ternyata lebih mengedepankan pemandangan luar biasa ketimbang menggali emosi yang kuat dari karakternya. Tidak ada padu-padan yang asyik antara musik dan lirik lagu. Sebagai contoh, coba Anda melantunkan nomor sembilan ini dengan sedikit bernyanyi. Ya, seperti itulah lagu-lagu yang ditampilkan dalam film ini. Lalu, coba dengar lagu yang dilantunkan Bebe ketika sedang mengajar anak-anak kecil. A for Apple. I for Ironic. Hahaha.

10. Seperti lagu, koreografi gerak dalam film ini juga terasa tempelan. Apapun adegannya, gerakan badan berputar pasti ada. Maklum, yang mengatur komposisi tari dalam film ini adalah Adella Fauzi, balerina terkenal. Sama seperti musik, gerak tari di film ini tidak terasa menyatu dengan adegannya. Apalagi, para pemain yang tidak luwes menarikan. Canggung. Klemer-klemer. Tidak ada powernya.


Masa minus semua? Apa dong plusnya film ini? Ada, sih, satu. Pemandangan menakjubkan dalam setiap adegannya. Laut, pantai, rumah tradisional. Warnanya juga asyik. Tapi, kalau cuma mau menikmati pemandangan, ngapain dibikin film? Mending foto-fotonya saja dijadikan slide show. Ya, nggak?







Cine-Macet di IFI Thamrin Jakarta

Tuesday, May 31, 2016

Bulan Mei ini, saya bersorak gembira ketika melihat ada program acara Cine-Macet di IFI Thamrin, Jakarta. Sesuai namanya, pemutaran film ini berlangsung saat kota Jakarta sedang dilanda macet-macetnya, ya. Jadi, daripada terjebak di jalan, mending mampir dulu ke IFI, Thamrin dan menonton film sambil menunggu jalanan agak lengang. Pikiran relaks dan pulang ke rumah tanpa ngedumel tentang macet, deh.

Tidak tanggung-tanggung, program ini berlangsung Selasa-Sabtu, kira-kira pukul 19.00 WIB dengan bonus pemutaran film pada pukul 14.00 WIB di hari-hari tertentu. Jadwal selengkapnya bisa dicek pada Cine-Macet IFI.

Untuk Cine-Macet bulan Mei, saya sempat menonton film Party Girl dan 17 Filles. Film pertama merupakan cerita tentang seorang wanita, Angelique yang sedari muda bekerja di klub malam tidak bisa menghilangkan minat berpesta dari jiwanya. Meskipun sudah memiliki anak bahkan cucu. Ketika Michel melamarnya, Angelique diharapkan meninggalkan dunia malam itu. Kalau dipikir-pikir, harusnya bisa. Toh, Michel mampu menghidupi tanpa dia harus bekerja di klub malam lagi. Tapi, menjalani hidup sebagai calon istri yang tinggal di rumah saja, membuat jiwanya terasa kosong. Pergulatan batin pun melingkupi hatinya: antara meneruskan hubungan itu atau menghentikannya?

Film 17 Filles terasa lebih rumit dibandingkan yang sebelumnya saya ceritakan. Tentu saja karena tema film ini cukup berat menurut saya. Tentang sekumpulan anak remaja di sebuah sekolah yang tiba-tiba hamil secara bersamaan. Awalnya, Camille, seorang siswi yang dianggap paling gaul di sekolah mereka. Kemudian, dengan karisma sebagai cewek populer yang keren, ia meyakinkan bahwa kehamilan itu adalah sesuatu yang terindah yang pernah terjadi kepadanya. Bahwa ia merasa spesial dan dewasa sehingga ibunya sendiri pun tidak akan bisa mengatur-ngatur hidupnya. Setelah itu, teman-temannya mengikuti. Merasa bahwa hal itu adalah keren. Laksana punya tato atau tindikan. Total ada tujuhbelas anak perempuan yang mengandung. Mereka berjanji akan saling membantu merawat calon jabang bayi satu-sama lain. Tapi, dengan usia semuda itu, tentu saja ada banyak kesulitan yang mereka hadapi. Hanya tinggal menunggu waktu, apakah mereka sanggup bertahan atau tidak.

Dua film di atas hanya sedikit dari banyak film yang akan diputar dalam program Cine-Macet di IFI Thamrin, Jakarta ini. Setiap bulan, telah disiapkan enam film berbahasa Prancis dan dua film Indonesia sesuai tema terpilih, seperti bulan Mei yang ternyata bertema Perempuan.

Nah, bagaimana? Sudah nggak sabar untuk menyaksikan film-film di Cine-Macet bulan Juli? Cek Cine-Macet IFI atau follow Twitternya di @IFI_Indonesia. Gratis!

Review Film The Boy: Permainan Horor Sang Boneka

Thursday, May 12, 2016

Kenalkan, Mas Boy, eh... Dek Boy... eh Dek Brahms.

foto dari popsugar.com

Greta, cewek asal Montana yang jauh-jauh ke Inggris untuk menjadi pengasuh Dek Brahms. Kok, harus ke negara lain segala, sih? Memangnya di Amerika Serikat nggak ada lapangan pekerjaan, sampai-sampai Greta harus jadi TKAS (Tenaga Kerja Amerika Serikat)? Yaaah, selain gaji yang konon berjumlah besar, Greta rupanya punya tujuan pribadi, yaitu "bersembunyi" dari pasangannya yang KDRT.

Tiba di rumah Keluarga Heelshire, betapa kagetnya Greta mengetahui harus merawat sebuah boneka. Tapi, bukannya buru-buru kabur karena keanehan itu, Greta tetap bertahan. Begitupun ketika Ibu Heelshire membisikkan "Sorry" ketika akan berangkat berlibur. Belum lagi, masalah klasik rumah tua di semua film horor: terpencil dan tidak ada sinyal, boro-boro dapat jaringan Wi-Fi. Bayangkan, betapa tersiksanya tidak bisa update status dan upload foto selfie! Tapi, ngomong-ngomong, kalau keluarga Heelshire itu kuno dan tidak memahami teknologi, bagaimana mereka bisa menemukan Greta sebagai pengasuh? Apa dari agen? Apa Malcolm (kurir yang rutin mengantarkan barang belanjaan Keluarga Heelshire setiap minggu) yang membantu memasangkan iklan? Apa berdasarkan petunjuk dari sang boneka? Yaaah, anggap saja karena Bapak dan Ibu Heelshire sangat kaya, apapun mungkin terjadi. :-)

Logika-logika yang serba kebetulan itulah yang bertebaran sepanjang film. Pemeran Greta berakting seolah-olah ingin film itu segera berakhir. Pemeran Malcom berkarakter maunya flirty tapi kenyataannya nasty. Pengen dianggap cool ternyata kepo bin rempong. Masa iya pura-pura mampu meramal lewat bekas permen karet yang telah dikunyah? Adegan itu nggak ada romantis-romantisnya, Bro Sutradara! Jijik malah.

Formula horor yang disajikan film ini tidak ada yang mencekam, begitupun adegannya adalah berupa pengulangan yang level menakutkannya minus belaka. Suara-suara isakan, barang-barang berpindah tempat, rumah tua yang sering berderit serta hujan sepanjang masa. Penulis skenario dan sutradara sepertinya tidak mengeluarkan upaya ekstra untuk menciptakan adegan horor yang baru. Sepertinya, mereka lebih memilih untuk fokus pada kejutan di akhir film. Yang sayangnya, itupun gagal mengangkat level horor yang sudah minus tadi.


Review Film Neerja : Keberanian Yang Luar Biasa

Tuesday, May 10, 2016

Tadi malam saya menonton film India yang berjudul Neerja. Saya tidak membaca ulasan film ini sebelum menonton. Tapi, setelahnya, karena begitu terkesan, saya mencari info tentang film Neerja dan mendapati bahwa film ini diangkat dari kisah nyata.

Neerja, seorang pramugari senior di perusahaan penerbangan Pan Am. Ketika bertugas pada penerbangan Pan Am jurusan India-Frankfurt dengan transit di Karachi. Tiba di tempat transit untuk menurunkan beberapa penumpang, tiba-tiba masuk empat teroris bersenjata yang menembak ke udara. Seluruh penumpang tentu ketakutan. Namun, Neerja terlihat tenang dan menjalani musibah itu sambil melihat-lihat apakah ada kesempatan untuk menyelamatkan penumpang. Dia dan kru pesawat lainnya melindungi penumpang Amerika yang diincar oleh teroris dengan cara yang mereka bisa. Tetap memberikan air dan makanan kepada penumpang. Lalu, dengan gagah berani mengevakuasi seluruh penumpang (yang masih hidup) meluncuri jalan keluar darurat.

Saya terpukau. Film ini tidak seperti film India yang saya tahu yang penuh nyanyian dan tarian. Ceritanya terjalin dengan apik dan tidak berlebihan. Latar belakang karakter Neerja yang kuat tak lupa dikisahkan. Bahwa, wanita itu 'terjebak' dalam kehidupan rumah tangga dengan suami yang kasar dan ringan tangan, semata-mata karena ia tidak memberikan dowry ketika menikah. Bahwa, Neerja berani memutuskan mengakhiri pernikahan tersebut. Di masa itu, tentu sulit bagi seorang wanita India memiliki prinsip idealis untuk tidak memberikan dowry, apalagi memutuskan bercerai dan menghadapi stigma masyarakat terhadap perempuan yang bercerai.

Neerja adalah perempuan yang berani. Itu, sudah pasti. Ia pun punya empati dan kasih untuk sesama. Aksi heroiknya ketika menyelamatkan penumpang Pan Am Flight 73 tanggal 5 September 1986, sangat luar biasa.


Puan Bernyanyi, Kartini Jazz, dan Miss Tjitjih di Galeri Indonesia Kaya

Sunday, May 1, 2016

Sesuai janji saya di post sebelumnya, saya akan menuliskan kesan dan pesan setelah menonton tiga pertunjukan di Galeri Indonesia Kaya.

1. Puan Bernyanyi oleh Kamila (17 April 2016)
Kali ini, tiga perempuan cantik, -Ava, Mia, dan Ana -, yang punya suara indah dan piawai bermain biola menyajikan lagu-lagu yang pernah dipopulerkan oleh penyanyi wanita terkenal Indonesia. Bukan hanya dari genre pop seperti Medley Girlband (Antara Kita-RSD, Kerinduan-ABThree, Ada Cinta-Bening, Nona Manis-Tiga Dara), melainkan juga musik dangdut. Ya, Medley Digoyang inilah yang mendapat sambutan luar biasa dari penonton. Kami ikut bernyanyi dan berjoget (goyang jempol saja sih karena susah berdiri dengan ruang gerak yang sempit, hehehe.) diiringi Sekuntum Mawar Merah (Elvi Sukaesih), Colak Colek dan Rekayasa Cinta (keduanya dari Camelia Malik).

Kejutan tidak berhenti. Trio yang penampilannya malam itu turut didukung oleh band En The Brey En The Skrey (kalau salah penulisan, maaf ya) menyajikan Medley Kasihan, berupa lagu-lagu yang mendengarnya saja kita akan berempati, "Kasihan, ya?" Hehehe.... Tentu kalian sudah membayangkan lagu apa saja yang termasuk di dalamnya. Ya, satu di antaranya sudah pasti Hati Yang Luka (Betharia Sonata).

Kesan: Bravo. Bravo. Bravo.
Pesan: Iringan band sore itu terlalu mendominasi yang kadang-kadang menenggelamkan keindahan vokal dan permainan biola trio Kamila. Pada segmen rock, aransemen itu terdengar luar biasa. Namun, untuk bagian yang lainnya sempat mengaburkan pesona trio Kamila itu sendiri. Dari sisi ini, semoga bisa lebih ditingkatkan lagi ke depannya.

2. Kartini Jazz (24 April 2016)
"Apa kalian bersenang-senang hari ini?" begitu pertanyaan Mian Tiara di sela-sela pertunjukan. Saya tidak tega meneriakkan, "Tidaaak."

Saya tahu Mian Tiara adalah musisi yang hebat serta penulis lirik yang kreatif. Tapi, saya tidak melihat kehebatan musisi ini pada pertunjukan malam itu. Ketika bernyanyi, banyak nada yang terpleset dan salah masuk lagu. Pemilihan lagu-lagu yang ditampilkan tidak luar biasa. Aransemennya pun tidak begitu berubah sehingga setidaknya akan mampu membuat penonton terhenyak dengan keunikannya. Itupun tidak. Sama sekali tidak. Kemampuan berinteraksi kepada penonton pun kurang bagus, kalau tidak bisa dibilang menyedihkan. Seharusnya, jika memang tidak piawai berkomunikasi dari atas panggung, mungkin lain kali bisa menambahkan seorang MC untuk menemani pada saat pergantian segmen. Ditambah pengiring band yang memaksakan wanita. Maaf, jika saya beropini demikian karena saya tidak melihat permainan musik yang enerjik dan penuh semangat. Dibandingkan En The Brey and The Skrey pada minggu lalu sangat sangat enerjik dan bersemangat, pengiring band sore itu (yang kebetulan semuanya berjenis kelamin perempuan) terlihat letih dan loyo. Energi malas itu mungkin tertular kepada penonton, termasuk saya. Oleh sebab itu, terbetik penasaran, "Apakah demi semua penampil berjenis kelamin perempuan, maka pengiring band tersebutlah yang diajak atau terpilih?"

Pertunjukan baru terlihat sedikit menarik ketika lagu Tubuhku Otoritasku dilantunkan. Sayangnya, selain penonton sudah terlalu masa bodo, lagu tersebut juga ternyata adalah lagu terakhir yang dibawakan oleh Mian Tiara.

Di agenda Indonesia Kaya, judul pertunjukan sore itu adalah Kartini Jazz oleh Lea Simanjuntak dan Mian Tiara. Dalam pikiran saya, kedua musisi wanita tersebut akan memiliki porsi tampil yang sama. Kenyataannya, Lea Simanjuntak hanya menyanyikan dua lagu (plus satu encore)! Penonton baru terlihat antusias ketika Lea muncul di panggung. Tapi, sayang sekali kemeriahan itu langsung berakhir secepat kilat.

Kesan: Berharap Terlalu Tinggi. Melihat judul acara, saya pikir akan menyaksikan suatu pertunjukan yang mewah dan meriah. Lea Simanjuntak dan Mian Tiara akan berganti-gantian menghibur penonton. Mungkin akan ada duet dan atau tek-tokan alias nge-jam ala jazz antara kedua musisi tersebut. Kenyataannya, harapan saya sebelumnya terlalu tinggi.
Pesan: Nice try. Semangat!

3. Bawang Merah Bawang Putih oleh Kelompok Sandiwara Miss Tjitjih bersama Fitri Tropica (30 April 2016)
Kelompok sandiwara ini memang sudah terkenal dari dulu. Jadi, ketika melihat agenda Galeri Indonesia Kaya, akan ada pertunjukan dari mereka, cepat-cepat saya reservasi.

Berbeda dari minggu sebelumnya yang mana harapan tinggi saya yang melambung tinggi ternyata terhempas manja, sore ini sebaliknya. Tadinya, saya pikir penyematan nama Fitri Tropica dalam buku acara hanya sebagai bintang tamu dengan porsi tampil yang seadanya. Rupanya, selebriti itu tampil dari awal sampai akhir. Bahkan, penampilan Fitrop di panggung tampak seperti pengatur alur dan komandan pertunjukan sore itu.

Berperan sebagai Bawang Putih, grand entrance Fitri Tropika membuat penonton terpingkal-pingkal. Begitupun celetukannya yang penuh humor. Dalam setiap adegan yang ada aktris tersebut, adegan terasa segar dan menarik perhatian. Apalagi ketika "bercengkerama" dengan Mamih, seolah-olah memang Fitri Tropica dan Mamih adalah ibu dan anak yang sebenarnya, hehehe. Selain dari mereka berdua, bagus, juga, sih, tapi tidak mengesankan. Terutama, peran Pangeran yang dibilang charming nggak, disebut berkharisma juga nggak, apalagi disebut bodor dan konyol. Datar saja. Padahal, kalau tokoh Pangeran digarap lebih baik lagi, sandiwara sore itu pasti bisa lebih pecah.

Kesan: Saya datang menonton dalam keadaan lapar karena belum makan dari pagi. Nah, menonton pertunjukan ini sampai selesai, ajaib rasa lapar saya hilang seketika. Bisa jadi obat diet, nih. :-D
Pesan: Memang di jadwal disebutkan bahwa pertunjukan ini adalah BO (Bimbingan Orangtua). Tapi, menyaksikan adegan-adegan yang menjurus dewasa (yang disajikan oleh Kucing Garong dan Kucing Manis) dan ada penonton-penonton kecil di bagian terdepan, rasanya khawatir juga. Semoga saja, orangtuanya mampu membimbing dengan benar kalau ada pertanyaan dari si kecilnya, ya. Untuk yang berwenang, jika dirasa bakal ada anak kecil yang menonton, sebaiknya adegan menjurus dewasa diganti saja atau untuk penyelenggara bisa mengubah kategori penonton yang boleh menyaksikan pertunjukan.

Selanjutnya, ada apa lagi ya di Galeri Indonesia Kaya. Yuk, cek langsung ke Indonesia Kaya.

Indonesia... Kaya!!!

Saturday, April 16, 2016

Saya kecanduan! Ya, kecanduan datang ke Galeri Indonesia Kaya. Sebenarnya, dari awal tahun saya ingin sekali mengunjungi galeri budaya Indonesia yang beralamat di Grand Indonesia ini. Tapi, selalu saja saya lupa, tidak punya waktu karena sedang sibuk, dan alasan lainnya yang sejujurnya diada-adakan saja. Hehehe.

Akhirnya minggu lalu saya bisa menjejakkan kaki ke tempat ini. Aksesnya gampang. Naik bus TransJakarta dari mana saja, turun di halte Tosari. Kalau menggunakan kereta Commuter Line, turun di Stadiun Sudirman (Dukuh Atas). Kemudian, melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Jangan keburu malas dulu. Jaraknya dekat, kok. Setidaknya menurut saya. Hehehe.

Masuk ke Grand Indonesia West Mall, GIK terletak persis di samping sinema Blitz Megaplex di lantai delapan. Dan, sapaan "Selamat Datang" dari berbagai bahasa suku-suku di Indonesia menyambut kedatangan kita. Lalu ada pengenalan alat musik tradisional yang interaktif dan kita bisa memainkan alunan nada-nada hanya dengan menyentuh layarnya. Yang paling menarik menurut saya adalah Arungi Indonesia. Serasa terbang mengelilingi dan mengunjungi Indonesia. Bagi yang narsis pasti suka Selaras Pakaian Adat. Berfoto pakaian adat digital dan langsung mengunggahnya ke media sosial. Lucu banget, kan?

Favorit saya adalah berbagai pertunjukan yang ditampilkan di sini. Ya, hampir setiap hari adaaa saja kegiatan budaya yang rata-rata bisa kita saksikan gratis. Minggu lalu saya menyaksikan pertunjukan tari "Rang Rumah" yang mungkin akan saya ceritakan secara terpisah. Besok, saya akan menonton musik jazz "Puan Bernyanyi". Minggu depan, nonton apa lagi ya? Yuk, langsung cek jadwalnya dan reservasi.

Banned For Life: Coffee Lamer

Monday, April 4, 2016

Pertama kali mengunjungi kafe ini ketika mereka launching kira-kira akhir tahun lalu. Waktu itu, saya memilih bagian indoor yang terlihat nyaman dan cozy dan terang dengan sofa-sofa empuk, wangi, pendingin ruangan, dan tentunya bebas dari asap rokok. Karena niatnya untuk ngopi, pesanan saya dan seorang teman ketika itu tentu saja kopi. Saya menyukai coffee blend dengan campuran orange yang saya pesan. Sangat dingin. Benar-benar blend. Terkesan dengan pelayanan super ramah dan rasa coffee blend yang pas, saya datang lagi kira-kira seminggu kemudian. Namun, tidak untuk makan di restorannya, tetapi membawa pulang pesanan.

Hari ini, baru saya datang lagi ke sana. Niatnya hanya memesan Tom Yam. Betapa kagetnya saya ketika membuka pintu untuk masuk ke bagian indoor, oh la la bau apek asap rokok bercampur AC langsung menyergap. Ruangan indoor yang dulu penuh sofa-sofa empuk masih sama. Tapi, tidak lagi nyaman tidak lagi wangi. Baunya memuakkan. Beberapa om-om berwajah Arab menikmati shisha. Dan ada, cewek-cewek Arab di pangkuan Om-om itu. Langsung pengin muntah. Seketika itu saya keluar.

Terlanjur pesan, ya sudah akhirnya duduk di luar saja. Dasar hari saya lagi apes, tiba-tiba pelayan membuka pintu indoor lebar-lebar, sehingga bau apek memuakkan yang berpusat di bagian indoor tadi tercium sampai ke bagian luar ruangan. Masih saya sabar-sabarin menunggu pesanan.

Hore, pesanan Tom Yam akhirnya datang. Tapi eh tapi baru menyuap sesendok, rasanya luar biasa asiiiiin seperti makanan Mpok Juwi yang minta dikawinin Abang Jampang. Akhirnya, saya minta Tom Yam itu dibungkus saja dan menambah pesanan milkshake untuk menetralisir asin yang terkadung menempel di lidah saya. Keduanya untuk dibawa pulang.

Pelayan yang saya minta tolong untuk membungkus makanan itu sangat tidak ramah. Apalagi ternyata dia bertugas untuk membakar shisha shisha di bagian depan kafe. Jadi, saya semakin jijik. Terbayang tangan yang sehabis menyentuh shisha itu kemudian memegang makanan dan minuman pesanan orang lain. Dan, di atas semua itu, pesanan milkshake yang minta dibawa pulang, malah disajikan dalam gelas. Pelayan yang sudah tidak ramah ternyata super tolol. Benar-benar hebat.

Di awal sebenarnya, saya sangat terkesan dengan baristanya yang keramahannya sangat jempol menurut saya. Sekelas dengan teman-teman Filosofi Kopi yang sampai saat ini selalu saya datangi seminggu sekali. Tapi, ternyata true color sang barista tidak seperti itu. Jadi, saya yang ingin buru-buru pergi dari tempat itu langsung ke kasir untuk membayar. Ternyata oh ternyata, petugas kasirnya adalah barista tersebut. Dan barista itu menyuruh saya menunggu karena dia masih sibuk. Oh, ya, posisi kasir adalah di bagian indoor yang penuh dengan shisha-shisha itu. Jadi, rasakan penderitaan saya yang sangat tidak menyukai asap rokok dan teman-temannya itu ketika disuruh menunggu lebih lama untuk membayar.

Tapi, ya sudah. Saya tahan-tahan saja. Eh, ketika akhirnya dia datang. Saya bilang saya tidak akan ke sini lagi karena pelayanannya menyebalkan. Dan saya minta milkshake dibawa pulang kenapa datang pakai gelas? Di mana-mana, setiap industri saja akan menjawab PERMOHONAN MAAF terlebih dahulu. Tapi, tidak. Si barista diam saja. Sibuk menghitung pesanan. Eh, begitu perhitungan sudah keluar, ternyata oh ternyata, minuman saya di-charge dua kali! Saya makin bete dan langsung bilang, "Itu dua kali!" Eh, sang barista nyolot kalau memang segitu kan saya pesan minumnya dua kali. Saya pandangi saja barista tolol itu dengan pandangan membunuh dan menyebutnya TOLOL. Akhirnya, dia sadar kalau salah memasukkan dua kali minuman. Dia pun kembalikan uang saya dengan benar.

Berhubung dia kasir sekaligus barista, dia juga yang memindahkan milkshake ke wadah untuk dibawa pulang. Saya tidak tahan menunggu lagi di bagian indoor yang penuh om-om Arab memangku cewek-cewek Arab menghembuskan shisha yang super bau itu, jadi saya menunggu di luar. Tapi, dari pintu saya perhatikan bagaimana mereka mengerjakan milkshake tersebut? Jangan sampai ada adegan meludahi. Bukan apa-apa, dari awal sampai akhir yang tidak ada PERMOHONAN MAAF sama sekali dari barista dan pelayan, tentu karena pikiran mereka penuh niat jahat lain buat minuman itu. Sayangnya, saya tidak mendapat pemandangan jelas yang membuat saya yakin apakah minuman itu memang benar-benar bersih dari dikerjai atau tidak. Akhirnya, milkshake pesanan saya itu saya berikan pada tukang bajaj yang kebetulan papasan di jalan.

Sayang sekali, Coffee Lamer. Sekarang kamu masuk daftar Banned for Life-nya saya. Di mana kafe/resto enak dan nyaman yang saya datangi saat grand launching? Yang pelayan/baristanya super ramah, kasual, dan kekinian? Sekarang justru bertampang jutek, kaku, dan tidak sopan dan tidak ramah. Mana tempat duduk indoor yang adem, nyaman, dan wangi itu? Berganti dipenuhi om-om Arab pangku-pangkuan dengan cewek-cewek Arab dengan cahaya remang-remang dan hembusan asap rokok dan shisha dengan gempuran pendingin udara.

Ternyata, benar kalau ada yang bilang nama adalah doa. Coffee Lamer mengambil nama Lampu Merah, media yang terkenal dengan tajuk utamanya yang vulgar. Oleh sebab itu, benar juga kalau Coffee Lamer dipenuhi om-om yang pangku-pangkuan dengan cewek-cewek rok mini dan menghembuskan shisha. Mungkin kafe itu berniat menciptakan headline vulgar mereka sendiri!