Cine-Macet di IFI Thamrin Jakarta

Tuesday, May 31, 2016

Bulan Mei ini, saya bersorak gembira ketika melihat ada program acara Cine-Macet di IFI Thamrin, Jakarta. Sesuai namanya, pemutaran film ini berlangsung saat kota Jakarta sedang dilanda macet-macetnya, ya. Jadi, daripada terjebak di jalan, mending mampir dulu ke IFI, Thamrin dan menonton film sambil menunggu jalanan agak lengang. Pikiran relaks dan pulang ke rumah tanpa ngedumel tentang macet, deh.

Tidak tanggung-tanggung, program ini berlangsung Selasa-Sabtu, kira-kira pukul 19.00 WIB dengan bonus pemutaran film pada pukul 14.00 WIB di hari-hari tertentu. Jadwal selengkapnya bisa dicek pada Cine-Macet IFI.

Untuk Cine-Macet bulan Mei, saya sempat menonton film Party Girl dan 17 Filles. Film pertama merupakan cerita tentang seorang wanita, Angelique yang sedari muda bekerja di klub malam tidak bisa menghilangkan minat berpesta dari jiwanya. Meskipun sudah memiliki anak bahkan cucu. Ketika Michel melamarnya, Angelique diharapkan meninggalkan dunia malam itu. Kalau dipikir-pikir, harusnya bisa. Toh, Michel mampu menghidupi tanpa dia harus bekerja di klub malam lagi. Tapi, menjalani hidup sebagai calon istri yang tinggal di rumah saja, membuat jiwanya terasa kosong. Pergulatan batin pun melingkupi hatinya: antara meneruskan hubungan itu atau menghentikannya?

Film 17 Filles terasa lebih rumit dibandingkan yang sebelumnya saya ceritakan. Tentu saja karena tema film ini cukup berat menurut saya. Tentang sekumpulan anak remaja di sebuah sekolah yang tiba-tiba hamil secara bersamaan. Awalnya, Camille, seorang siswi yang dianggap paling gaul di sekolah mereka. Kemudian, dengan karisma sebagai cewek populer yang keren, ia meyakinkan bahwa kehamilan itu adalah sesuatu yang terindah yang pernah terjadi kepadanya. Bahwa ia merasa spesial dan dewasa sehingga ibunya sendiri pun tidak akan bisa mengatur-ngatur hidupnya. Setelah itu, teman-temannya mengikuti. Merasa bahwa hal itu adalah keren. Laksana punya tato atau tindikan. Total ada tujuhbelas anak perempuan yang mengandung. Mereka berjanji akan saling membantu merawat calon jabang bayi satu-sama lain. Tapi, dengan usia semuda itu, tentu saja ada banyak kesulitan yang mereka hadapi. Hanya tinggal menunggu waktu, apakah mereka sanggup bertahan atau tidak.

Dua film di atas hanya sedikit dari banyak film yang akan diputar dalam program Cine-Macet di IFI Thamrin, Jakarta ini. Setiap bulan, telah disiapkan enam film berbahasa Prancis dan dua film Indonesia sesuai tema terpilih, seperti bulan Mei yang ternyata bertema Perempuan.

Nah, bagaimana? Sudah nggak sabar untuk menyaksikan film-film di Cine-Macet bulan Juli? Cek Cine-Macet IFI atau follow Twitternya di @IFI_Indonesia. Gratis!

Review Film The Boy: Permainan Horor Sang Boneka

Thursday, May 12, 2016

Kenalkan, Mas Boy, eh... Dek Boy... eh Dek Brahms.

foto dari popsugar.com

Greta, cewek asal Montana yang jauh-jauh ke Inggris untuk menjadi pengasuh Dek Brahms. Kok, harus ke negara lain segala, sih? Memangnya di Amerika Serikat nggak ada lapangan pekerjaan, sampai-sampai Greta harus jadi TKAS (Tenaga Kerja Amerika Serikat)? Yaaah, selain gaji yang konon berjumlah besar, Greta rupanya punya tujuan pribadi, yaitu "bersembunyi" dari pasangannya yang KDRT.

Tiba di rumah Keluarga Heelshire, betapa kagetnya Greta mengetahui harus merawat sebuah boneka. Tapi, bukannya buru-buru kabur karena keanehan itu, Greta tetap bertahan. Begitupun ketika Ibu Heelshire membisikkan "Sorry" ketika akan berangkat berlibur. Belum lagi, masalah klasik rumah tua di semua film horor: terpencil dan tidak ada sinyal, boro-boro dapat jaringan Wi-Fi. Bayangkan, betapa tersiksanya tidak bisa update status dan upload foto selfie! Tapi, ngomong-ngomong, kalau keluarga Heelshire itu kuno dan tidak memahami teknologi, bagaimana mereka bisa menemukan Greta sebagai pengasuh? Apa dari agen? Apa Malcolm (kurir yang rutin mengantarkan barang belanjaan Keluarga Heelshire setiap minggu) yang membantu memasangkan iklan? Apa berdasarkan petunjuk dari sang boneka? Yaaah, anggap saja karena Bapak dan Ibu Heelshire sangat kaya, apapun mungkin terjadi. :-)

Logika-logika yang serba kebetulan itulah yang bertebaran sepanjang film. Pemeran Greta berakting seolah-olah ingin film itu segera berakhir. Pemeran Malcom berkarakter maunya flirty tapi kenyataannya nasty. Pengen dianggap cool ternyata kepo bin rempong. Masa iya pura-pura mampu meramal lewat bekas permen karet yang telah dikunyah? Adegan itu nggak ada romantis-romantisnya, Bro Sutradara! Jijik malah.

Formula horor yang disajikan film ini tidak ada yang mencekam, begitupun adegannya adalah berupa pengulangan yang level menakutkannya minus belaka. Suara-suara isakan, barang-barang berpindah tempat, rumah tua yang sering berderit serta hujan sepanjang masa. Penulis skenario dan sutradara sepertinya tidak mengeluarkan upaya ekstra untuk menciptakan adegan horor yang baru. Sepertinya, mereka lebih memilih untuk fokus pada kejutan di akhir film. Yang sayangnya, itupun gagal mengangkat level horor yang sudah minus tadi.


Review Film Neerja : Keberanian Yang Luar Biasa

Tuesday, May 10, 2016

Tadi malam saya menonton film India yang berjudul Neerja. Saya tidak membaca ulasan film ini sebelum menonton. Tapi, setelahnya, karena begitu terkesan, saya mencari info tentang film Neerja dan mendapati bahwa film ini diangkat dari kisah nyata.

Neerja, seorang pramugari senior di perusahaan penerbangan Pan Am. Ketika bertugas pada penerbangan Pan Am jurusan India-Frankfurt dengan transit di Karachi. Tiba di tempat transit untuk menurunkan beberapa penumpang, tiba-tiba masuk empat teroris bersenjata yang menembak ke udara. Seluruh penumpang tentu ketakutan. Namun, Neerja terlihat tenang dan menjalani musibah itu sambil melihat-lihat apakah ada kesempatan untuk menyelamatkan penumpang. Dia dan kru pesawat lainnya melindungi penumpang Amerika yang diincar oleh teroris dengan cara yang mereka bisa. Tetap memberikan air dan makanan kepada penumpang. Lalu, dengan gagah berani mengevakuasi seluruh penumpang (yang masih hidup) meluncuri jalan keluar darurat.

Saya terpukau. Film ini tidak seperti film India yang saya tahu yang penuh nyanyian dan tarian. Ceritanya terjalin dengan apik dan tidak berlebihan. Latar belakang karakter Neerja yang kuat tak lupa dikisahkan. Bahwa, wanita itu 'terjebak' dalam kehidupan rumah tangga dengan suami yang kasar dan ringan tangan, semata-mata karena ia tidak memberikan dowry ketika menikah. Bahwa, Neerja berani memutuskan mengakhiri pernikahan tersebut. Di masa itu, tentu sulit bagi seorang wanita India memiliki prinsip idealis untuk tidak memberikan dowry, apalagi memutuskan bercerai dan menghadapi stigma masyarakat terhadap perempuan yang bercerai.

Neerja adalah perempuan yang berani. Itu, sudah pasti. Ia pun punya empati dan kasih untuk sesama. Aksi heroiknya ketika menyelamatkan penumpang Pan Am Flight 73 tanggal 5 September 1986, sangat luar biasa.


Puan Bernyanyi, Kartini Jazz, dan Miss Tjitjih di Galeri Indonesia Kaya

Sunday, May 1, 2016

Sesuai janji saya di post sebelumnya, saya akan menuliskan kesan dan pesan setelah menonton tiga pertunjukan di Galeri Indonesia Kaya.

1. Puan Bernyanyi oleh Kamila (17 April 2016)
Kali ini, tiga perempuan cantik, -Ava, Mia, dan Ana -, yang punya suara indah dan piawai bermain biola menyajikan lagu-lagu yang pernah dipopulerkan oleh penyanyi wanita terkenal Indonesia. Bukan hanya dari genre pop seperti Medley Girlband (Antara Kita-RSD, Kerinduan-ABThree, Ada Cinta-Bening, Nona Manis-Tiga Dara), melainkan juga musik dangdut. Ya, Medley Digoyang inilah yang mendapat sambutan luar biasa dari penonton. Kami ikut bernyanyi dan berjoget (goyang jempol saja sih karena susah berdiri dengan ruang gerak yang sempit, hehehe.) diiringi Sekuntum Mawar Merah (Elvi Sukaesih), Colak Colek dan Rekayasa Cinta (keduanya dari Camelia Malik).

Kejutan tidak berhenti. Trio yang penampilannya malam itu turut didukung oleh band En The Brey En The Skrey (kalau salah penulisan, maaf ya) menyajikan Medley Kasihan, berupa lagu-lagu yang mendengarnya saja kita akan berempati, "Kasihan, ya?" Hehehe.... Tentu kalian sudah membayangkan lagu apa saja yang termasuk di dalamnya. Ya, satu di antaranya sudah pasti Hati Yang Luka (Betharia Sonata).

Kesan: Bravo. Bravo. Bravo.
Pesan: Iringan band sore itu terlalu mendominasi yang kadang-kadang menenggelamkan keindahan vokal dan permainan biola trio Kamila. Pada segmen rock, aransemen itu terdengar luar biasa. Namun, untuk bagian yang lainnya sempat mengaburkan pesona trio Kamila itu sendiri. Dari sisi ini, semoga bisa lebih ditingkatkan lagi ke depannya.

2. Kartini Jazz (24 April 2016)
"Apa kalian bersenang-senang hari ini?" begitu pertanyaan Mian Tiara di sela-sela pertunjukan. Saya tidak tega meneriakkan, "Tidaaak."

Saya tahu Mian Tiara adalah musisi yang hebat serta penulis lirik yang kreatif. Tapi, saya tidak melihat kehebatan musisi ini pada pertunjukan malam itu. Ketika bernyanyi, banyak nada yang terpleset dan salah masuk lagu. Pemilihan lagu-lagu yang ditampilkan tidak luar biasa. Aransemennya pun tidak begitu berubah sehingga setidaknya akan mampu membuat penonton terhenyak dengan keunikannya. Itupun tidak. Sama sekali tidak. Kemampuan berinteraksi kepada penonton pun kurang bagus, kalau tidak bisa dibilang menyedihkan. Seharusnya, jika memang tidak piawai berkomunikasi dari atas panggung, mungkin lain kali bisa menambahkan seorang MC untuk menemani pada saat pergantian segmen. Ditambah pengiring band yang memaksakan wanita. Maaf, jika saya beropini demikian karena saya tidak melihat permainan musik yang enerjik dan penuh semangat. Dibandingkan En The Brey and The Skrey pada minggu lalu sangat sangat enerjik dan bersemangat, pengiring band sore itu (yang kebetulan semuanya berjenis kelamin perempuan) terlihat letih dan loyo. Energi malas itu mungkin tertular kepada penonton, termasuk saya. Oleh sebab itu, terbetik penasaran, "Apakah demi semua penampil berjenis kelamin perempuan, maka pengiring band tersebutlah yang diajak atau terpilih?"

Pertunjukan baru terlihat sedikit menarik ketika lagu Tubuhku Otoritasku dilantunkan. Sayangnya, selain penonton sudah terlalu masa bodo, lagu tersebut juga ternyata adalah lagu terakhir yang dibawakan oleh Mian Tiara.

Di agenda Indonesia Kaya, judul pertunjukan sore itu adalah Kartini Jazz oleh Lea Simanjuntak dan Mian Tiara. Dalam pikiran saya, kedua musisi wanita tersebut akan memiliki porsi tampil yang sama. Kenyataannya, Lea Simanjuntak hanya menyanyikan dua lagu (plus satu encore)! Penonton baru terlihat antusias ketika Lea muncul di panggung. Tapi, sayang sekali kemeriahan itu langsung berakhir secepat kilat.

Kesan: Berharap Terlalu Tinggi. Melihat judul acara, saya pikir akan menyaksikan suatu pertunjukan yang mewah dan meriah. Lea Simanjuntak dan Mian Tiara akan berganti-gantian menghibur penonton. Mungkin akan ada duet dan atau tek-tokan alias nge-jam ala jazz antara kedua musisi tersebut. Kenyataannya, harapan saya sebelumnya terlalu tinggi.
Pesan: Nice try. Semangat!

3. Bawang Merah Bawang Putih oleh Kelompok Sandiwara Miss Tjitjih bersama Fitri Tropica (30 April 2016)
Kelompok sandiwara ini memang sudah terkenal dari dulu. Jadi, ketika melihat agenda Galeri Indonesia Kaya, akan ada pertunjukan dari mereka, cepat-cepat saya reservasi.

Berbeda dari minggu sebelumnya yang mana harapan tinggi saya yang melambung tinggi ternyata terhempas manja, sore ini sebaliknya. Tadinya, saya pikir penyematan nama Fitri Tropica dalam buku acara hanya sebagai bintang tamu dengan porsi tampil yang seadanya. Rupanya, selebriti itu tampil dari awal sampai akhir. Bahkan, penampilan Fitrop di panggung tampak seperti pengatur alur dan komandan pertunjukan sore itu.

Berperan sebagai Bawang Putih, grand entrance Fitri Tropika membuat penonton terpingkal-pingkal. Begitupun celetukannya yang penuh humor. Dalam setiap adegan yang ada aktris tersebut, adegan terasa segar dan menarik perhatian. Apalagi ketika "bercengkerama" dengan Mamih, seolah-olah memang Fitri Tropica dan Mamih adalah ibu dan anak yang sebenarnya, hehehe. Selain dari mereka berdua, bagus, juga, sih, tapi tidak mengesankan. Terutama, peran Pangeran yang dibilang charming nggak, disebut berkharisma juga nggak, apalagi disebut bodor dan konyol. Datar saja. Padahal, kalau tokoh Pangeran digarap lebih baik lagi, sandiwara sore itu pasti bisa lebih pecah.

Kesan: Saya datang menonton dalam keadaan lapar karena belum makan dari pagi. Nah, menonton pertunjukan ini sampai selesai, ajaib rasa lapar saya hilang seketika. Bisa jadi obat diet, nih. :-D
Pesan: Memang di jadwal disebutkan bahwa pertunjukan ini adalah BO (Bimbingan Orangtua). Tapi, menyaksikan adegan-adegan yang menjurus dewasa (yang disajikan oleh Kucing Garong dan Kucing Manis) dan ada penonton-penonton kecil di bagian terdepan, rasanya khawatir juga. Semoga saja, orangtuanya mampu membimbing dengan benar kalau ada pertanyaan dari si kecilnya, ya. Untuk yang berwenang, jika dirasa bakal ada anak kecil yang menonton, sebaiknya adegan menjurus dewasa diganti saja atau untuk penyelenggara bisa mengubah kategori penonton yang boleh menyaksikan pertunjukan.

Selanjutnya, ada apa lagi ya di Galeri Indonesia Kaya. Yuk, cek langsung ke Indonesia Kaya.