Masih ingat postingan ini?
Dengan kekhawatiran bahwa bakal ada beberapa pihak yang terlalu antusias merayakan hari besar keagamaan, saya sudah menyiapkan hati untuk menerima hingar bingar petasan. Tapi, di malam Natal tanggal 24 Desember dan keesokan harinya di tanggal 25 Desember, tak ada suara keributan terdengar. Mereka merayakannya dengan khusuk di gereja atau di rumah masing-masing, merenung, dan bersyukur akan nikmat yang telah diterima di bumi. Tanpa hiruk-pikuk petasan. Saya sangat senang.
Aman. Damai. Malam Natal menjadi identik dengan dua kata itu. Tak ada teror keributan oleh suara petasan. Tak ada remaja iseng yang melempar bubuk penyebab suara menggelegar sembarangan ketika saya berjalan kaki di luar rumah. Tak ada tetangga-tetangga bodoh yang menyalakan petasan dengan berlindung di balik kata "merayakan kemenangan". Ketenangan malam itu sangat menyenangkan.
Malam Natal = Tenang Tanpa Petasan
Posted by aksaralava at 7:55 PM 0 comments
Barney and Friends
Posted by aksaralava at 2:00 AM 0 comments
Malam Lebaran = Malam Paling Menakutkan
Buat saya, ya.
Tidak tahu persisnya sejak kapan, tapi berulang kali malam Lebaran dilewatkan banyak orang dengan menyalakan petasan. Bukan hanya sekadar kembang api yang berdesis dan bersinar-sinar ketika dinyalakan. Tapi dentuman sekeras meriam yang membuat orang lain meradang.
Petasan itu dinyalakan di sembarang tempat. Saya pernah mengalami sedang berjalan kaki pun, seseorang tak dikenal melemparkan petasan ke arah saya. Kejadian itu membuat saya tak berani lagi berjalan-jalan ke luar rumah setelah buka puasa di hari terakhir Ramadhan.
Tapi apakah tinggal di rumah berarti aman, nyaman, dan damai? Tentu saja tidak. Tetangga-tetangga bodoh seenaknya menyalakan petasan. Paling keras, itulah yang dianggap menang. Ketika disampaikan keberatan, sikap defensif, "Kalau tidak suka pindah saja dari kampung sini" menjadi tameng dan pembenaran sikap mereka. Jalan buntu. Bisa dibilang seperti itu. Petasan tetap berteriak di mana-mana sampai lewat tengah malam. Tak ada malam senyap yang dimanfaatkan untuk merenung. Tak ada ibadah malam yang khusyuk menjelang berakhirnya Ramadhan.
Setiap malam Lebaran pun menjadi malam yang menakutkan. Tak tahu kapan teror petasan itu akan berhenti. Tak mengerti kapan serangan yang mengagetkan itu berakhir. Tak bisa ke mana-mana karena di jalanan pun mereka menyerang dan tidak terkena hukuman. Alasannya: merayakan kemenangan.
Jika perayaan kemenangan menimbulkan teror dan ketakutan kepada sesama manusia lainnya, apakah masih pantas disematkan pita kemenangan kepada si pembuat teror dan penebar ketakutan?
Posted by aksaralava at 8:55 PM 0 comments
Bangga Berbuat Dosa
Aku memang tidak lagi rutin menonton televisi, baik lokal maupun kabel. Aku lupa sejak kapan tepatnya. Yang jelas, aku tidak menyediakan fasilitas itu di tempat tinggalku. Paling-paling, aku menonton tayangan lokal sekilas ketika bertandang di rumah makan langganan atau ketika mengunjungi teman.
Dari beberapa kesempatan itu, ada kalanya program infotainment yang tersaji di depan mata. Satu hal yang menarik perhatianku adalah wawancara musisi AD dengan penyanyi WS di sebuah program bincang bintang. Dalam acara tersebut, AD mengatakan bahwa WS itu adalah ibu dari anaknya, S. Hal itu seakan menegaskan bahwa kedekatan AD dengan WS yang sebelumnya disangka-sangka sebagai sebuah perselingkuhan adalah benar adanya. Ditambah status keduanya yang tidak jelas karena di berbagai tayangan infotainment, titel WS tertulis sebagai istri siri AD. Di lain waktu, seorang pengacara bernama FA ditunjukkan sedang bermesra-mesraan dengan perempuan yang bukan istrinya saat itu, ND. Dari berita politik, ada tayangan SB bagi-bagi uang saat kampanye.
Meski dengan berita yang berlainan, benang merah ketiga contoh di atas sama. Ketiganya sama-sama bangga berbuat dosa. Media pun ikut-ikutan bangga menampilkan si pendosa. AD dinarasikan sebagai musisi jenius, pria yang bertanggung jawab, serta bapak yang baik dan bisa diandalkan. Padahal, musisi yang jenius itu tak lagi dahsyat berkarya dan terjebak dengan masterpiece karya masa lalunya. Padahal, pria yang dikatakan bertanggung jawab itu bukan hanya menceraikan istri pertamanya, tapi memisahkan ibu dari ketiga jagoannya itu dari anak-anaknya. Sedangkan definisi bapak yang baik sangat perlu pembuktian lebih jauh karena anak-anaknya justru tidak terjamin pendidikannya (bukan karena faktor ekonomi, tapi karena kesibukan pekerjaan sang anak-anak).
Ada apa dengan masyarakat sekarang? Seakan-akan, kita berlomba-lomba mengejar dosa. Laki-laki yang tidak bisa setia dengan satu orang wanita, dianggap perkasa. Wanita yang bisa membuat pria beristri berpaling kepadanya, ditasbihkan sebagai pemenang. Orang yang menyuap disebut pemimpin baik hati. Beberapa media pun tak malu-malu mengubur dosa si pendosa ini dengan menampilkan mereka tanpa cela, memutar-balikkan fakta, menyanjung seakan-akan berbuat dosa itu dibenarkan dan sudah biasa.
Mereka lupa bahwa (dikutip dari sini) "“Every journalist—from the newsroom to the boardroom—must have a personal sense of ethics and responsibility—a moral compass."
Posted by aksaralava at 11:35 PM 0 comments
Kekerasan di Sekolah
Lihat, tanggal berapa post sebelum ini diterbitkan? Ya, rasa malas untuk menulis di blog ini kembali menjangkitiku. Bukan karena terlalu sibuk atau waktu yang sempit, melainkan karena aku memang sama sekali nggak tahu hendak menuangkan cerita apa di sini. Padahal, di Indonesia sendiri sedang terjadi banyak peristiwa yang mengundang komentar. Salah satunya adalah tentang kekerasan di dalam lingkungan sekolah.
Renggo Khadafi (11 tahun) tewas karena dipukuli dan dianiaya oleh kakak kelas. Penyebabnya tampak sepele. Renggo menyenggol pelaku penganiayaan sehingga esnya terjatuh. Renggo sudah meminta maaf dan mengganti es. Namun, pelaku tidak terima dan melampiaskan amarah dengan membabi buta. Kronologisnya aku kutip dari sini. Di belahan Indonesia lain, seorang guru menganiaya muridnya dengan potongan asbes. Beritanya langsung di klik saja.
Menyedihkan, ya? Kalau ternyata akar kekerasan yang selama ini menumpuk dan berkembang pada masyarakat ternyata bibitnya dari sekolah. Bayangkan, orangtua yang selama kira-kira 7 tahun pertama kehidupan anaknya membesarkan sang anak dengan santun dan penuh kelembutan. Tapi, ketika memasuki usia sekolah, didikan itu bisa saja menghilang digantikan 'budaya' kekerasan yang ditanamkan oleh sekolah. Menyedihkan.
Aku sendiri sejak dulu nggak pernah suka dengan yang namanya sekolah. Ya, aku memang datang ke lembaga pendidikan itu dan meraih nilai bagus setiap tahunnya. Tapi, aku pikir itu karena terpaksa. Bahwa tugas anak-anak itu ya sekolah. Bahwa pergi ke sekolah adalah keharusan. Bahwa anak-anak harus memperoleh nilai bagus karena kalau tidak, ya nggak akan disayang keluarga. Padahal, kalau mau jujur, ada beberapa kasus kekerasan yang juga aku alami selama bersekolah. Kasus itu mengendap karena sekolah sangat pintar untuk mengintimidasi bahwa kejadian itu tidak boleh dilaporkan ke rumah atau orangtua. Bahwa bila orangtua tahu justru mereka akan sedih karena itu berarti anaknya nakal. Dahulu, aku menganggap jika sampai orangtua datang ke sekolah, itu berarti sang anak nakal dan memiliki masalah.
Baiklah, mari aku ceritakan satu kasus kekerasan yang aku alami dan sampai sekarang tak terlupakan. Waktu SD, aku kehilangan buku. Singkat cerita, ketika diharuskan berganti teman semeja, aku duduk di samping si pencuri buku itu. Karena bukuku itu hilang, aku minta berbagi membaca buku itu saat pelajaran yang memerlukan buku itu. Ternyata, pas aku bolak-balik, aku yakin itu bukuku yang hilang. Aku bilang kalau itu bukuku. Tapi, si pencuri berkilah semua buku penampakannya sama dan itu bukan berarti bukunya adalah bukuku.
Di rumah, aku pun bercerita kepada orangtuaku kalau aku pikir bukuku dicuri. Lalu, orangtuaku datang ke sekolah. Namun, sekolah bukannya mempertemukan aku beserta orangtuaku dengan si pencuri buku dan orangtuanya. Setelah orangtuaku pulang, Kepala Sekolah memanggilku dan si pencuri buku secara bersamaan. Kepala Sekolah meragukan bukti bahwa buku itu memang bukuku. Aku tunjukkan saja kalau tulisan di beberapa lembar buku itu sama dengan contoh tulisanku, sedangkan tulisan si pencuri sangat jelek dan tidak terbaca. Lebih meyakinkan lagi, ada namaku tertulis di halaman depan buku. Walaupun, sudah dicoret tapi masih terbaca dari sela-sela coretan itu. Kepala Sekolah menasihati si pencuri buku untuk tidak lagi mengulangi perbuatannya, lalu meminta buku itu. Melihat buku yang dipegang Kepala Sekolah, aku senang karena akhirnya aku pikir bukuku bisa kembali. Tapi, apa yang terjadi? Kepala Sekolah malah menamparku dengan buku itu tanpa peringatan. Lalu, ia belum puas. Dengan tangannya sendiri ia kembali menamparku. Keras. Pipiku merah. Dan air mata bercucuran karena tak bisa kutahan. Aku masih ingat dengan jelas apa kalimatnya saat itu. Bahwa seharusnya aku tidak perlu mengadu bila menemukan masalah di sekolah. Bahwa seharusnya aku diam saja. Bahwa tidak akan ada yang mau berteman dengan anak pengadu seperti aku.
Lihat, kan? Bukannya mendapat keadilan, seorang korban malah diadili. Lebih parah lagi, kejadian itu berlangsung di tengah-tengah lapangan sekolah karena sewaktu itu Kepala Sekolah sedang patroli mengawasi anak-anak bermain. Efek dari kejadian itu tentu saja aku sangat membenci sekolah. Aku takut dengan guru-guru dan sampai sekarang aku menganggap guru adalah profesi paling hina. Sekolah bukan tempat yang aman. Kekuasaan yang dimiliki para guru bisa disalahgunakan. Anak-anak kecil seperti saya dulu yang menganggap guru adalah figur yang tak terbantah hanya bisa diam saja dan menyembunyikan peristiwa itu. Betapa gampangnya guru mengintimidasi dan memanipulasi semua kejadian adalah kesalahan murid semata. Trauma itu mengendap tidak menguap. Contoh dari peristiwa yang aku alami saja, aku jadi tidak percaya diri, menutup diri, dan tidak berani mengemukakan pendapat di depan orang yang wewenangnya lebih tinggi.
Sudahlah, jika sekolah kita masih toleran dengan kekerasan, apapun bentuknya, sekolah dibubarkan saja. Pendidikan memang perlu. Tapi, apabila proses transfer ilmu dijalankan dengan 'budaya' kekerasan, bukan tidak mungkin melahirkan generasi yang 'berkomunikasi' melalui kekerasan semata. Kalau sudah begitu, apa manfaatnya kecerdasan tinggi jika tidak diimbangi akhlak yang berbudi?
Posted by aksaralava at 12:57 AM 0 comments
Para Ayah
Foto resmi serial Dads |
Kabarnya serial ini tidak akan dilanjutkan lagi karena ofensif dan rasis. Di episode pertama, ketika Eli dan Warner mengeluhkan kedatangan ayah mereka masing-masing, Veronica nimbrung dan mengatakan:
"Well, you're lucky your dads are American. My dad beat me with a math book till I was 16."Nggak cuma itu, masih di episode pertama, untuk menjaring investor Asia, Veronica diminta berpakaian seragam sekolah yang seksi. Belum lagi, ketika Crawford mendatangi kantor anaknya Warner untuk memperingatkan bahwa:
"The Chinese are lovely and honorable people. But you can't trust them."dan
"There's a reason Shanghai's a verb."Kalau ada yang sudah menonton serial ini, bagaimana menurut kalian? Apakah sebaiknya aku terus menonton atau tidak?
Posted by aksaralava at 1:18 AM 0 comments
Memilih Untuk Tidak Memilih
Hari ini, tanggal 9 April 2014, berlangsung Pemilihan Umum untuk menentukan partai dan wakil rakyat. Tidak seperti sebelumnya, pemilu kali ini, aku memutuskan tidak mengotori jari dengan tinta ungu. Walaupun ada godaan kopi dan atau krim es gratis, aku bergeming. Ceritanya konsisten, nih. Hehehe.
Lalu, mengapa aku nggak memilih? Simpel karena nggak ada partai dan calon yang memikat hati. Dulu, masih ada partai yang katanya menjunjung keadilan dan kesejahteraan sepertinya bisa menjadi harapan. Namun, sebaik anggota dan wakil partai itu wara-wiri di persidangan kasus korupsi dan menggandeng anak kecil sebagai entah istri yang keberapa, ya sudah. Sori sori, jek. Partai itu pun aku anggap mati.
Benar, deh. Wakil rakyat itu dinilai dari program yang diusung. Tapi, sampai hari pemilihan, aku nggak tahu partai apa, calon apa, programnya apa. Seminggu sebelum pemilu saja, aku lebih tahu ada diskon di kafe yang baru buka dekat rumah, pengobatan alternatif di Srengseng, dan program turun berat badan sampai 100 kilogram bergaransi. Tahulah maksudnya, ya. Artinya nggak sulit menjelaskan kepada warga janji-janji para calon dalam membangun bangsa. Eh, tapi, tunggu dulu! Benar, kan, ini para calon ikut mencalonkan diri karena berniat membangun Indonesia? Bukan supaya bisa "indehoi" (astaga istilah ini) sama artis, punya istri seratus, atau menjual aset negara untuk kocek pribadi? Semoga tidak begitu, ya.
Masalah coblos atau tidak mencoblos, harusnya tidak menjadi pertengkaran ya. Jangan sampai yang punya semangat 45 untuk memberikan suara menganggap rendah si golongan putih. Jika tidak memilih, katanya golongan putih nggak boleh berani memprotes kebijakan negara bilamana tidak sesuai dengan keadilan. Bahwa golongan putih tidak turut serta dalam proses membangun dan memajukan bangsa. Hahaha, iya deh. Dikira golongan putih itu warga alien yang nggak punya KTP Indonesia dan nggak membayar pajak (bagi warga yang wajib pajak), mungkin, ya?
Kalau begitu, sesama golongan putih-putih melati, yuk tempelkan ujung jarimu yang bercahaya dan berkata dengan suara parau, "Golput phone hooome."
Posted by aksaralava at 2:10 PM 0 comments
Pertama
Halo.
Setelah berulang kali daftar, malas memperbaharui, dan lupa kata sandi, akhirnya inilah blog baruku. Aku sangat berharap bisa menulis secara berkala di jurnal online ini, ya. Semoga rasa jenuh dan tidak berhasrat dalam menampilkan post baru tidak pernah menyerang lagi, ya. Jadi, apa yang seharusnya aku publikasikan untuk yang pertama kali? Ada yang mau kasih ide? Terima kasih ya sebelumnya.
Posted by aksaralava at 4:02 AM 0 comments