Bangga Berbuat Dosa

Saturday, June 7, 2014

Aku memang tidak lagi rutin menonton televisi, baik lokal maupun kabel. Aku lupa sejak kapan tepatnya. Yang jelas, aku tidak menyediakan fasilitas itu di tempat tinggalku. Paling-paling, aku menonton tayangan lokal sekilas ketika bertandang di rumah makan langganan atau ketika mengunjungi teman.

Dari beberapa kesempatan itu, ada kalanya program infotainment yang tersaji di depan mata. Satu hal yang menarik perhatianku adalah wawancara musisi AD dengan penyanyi WS di sebuah program bincang bintang. Dalam acara tersebut, AD mengatakan bahwa WS itu adalah ibu dari anaknya, S. Hal itu seakan menegaskan bahwa kedekatan AD dengan WS yang sebelumnya disangka-sangka sebagai sebuah perselingkuhan adalah benar adanya. Ditambah status keduanya yang tidak jelas karena di berbagai tayangan infotainment, titel WS tertulis sebagai istri siri AD. Di lain waktu, seorang pengacara bernama FA ditunjukkan sedang bermesra-mesraan dengan perempuan yang bukan istrinya saat itu, ND. Dari berita politik, ada tayangan SB bagi-bagi uang saat kampanye.

Meski dengan berita yang berlainan, benang merah ketiga contoh di atas sama. Ketiganya sama-sama bangga berbuat dosa. Media pun ikut-ikutan bangga menampilkan si pendosa. AD dinarasikan sebagai musisi jenius, pria yang bertanggung jawab, serta bapak yang baik dan bisa diandalkan. Padahal, musisi yang jenius itu tak lagi dahsyat berkarya dan terjebak dengan masterpiece karya masa lalunya. Padahal, pria yang dikatakan bertanggung jawab itu bukan hanya menceraikan istri pertamanya, tapi memisahkan ibu dari ketiga jagoannya itu dari anak-anaknya. Sedangkan definisi bapak yang baik sangat perlu pembuktian lebih jauh karena anak-anaknya justru tidak terjamin pendidikannya (bukan karena faktor ekonomi, tapi karena kesibukan pekerjaan sang anak-anak).

Ada apa dengan masyarakat sekarang? Seakan-akan, kita berlomba-lomba mengejar dosa. Laki-laki yang tidak bisa setia dengan satu orang wanita, dianggap perkasa. Wanita yang bisa membuat pria beristri berpaling kepadanya, ditasbihkan sebagai pemenang. Orang yang menyuap disebut pemimpin baik hati. Beberapa media pun tak malu-malu mengubur dosa si pendosa ini dengan menampilkan mereka tanpa cela, memutar-balikkan fakta, menyanjung seakan-akan berbuat dosa itu dibenarkan dan sudah biasa.

Mereka lupa bahwa (dikutip dari sini) "“Every journalist—from the newsroom to the boardroom—must have a personal sense of ethics and responsibility—a moral compass."

0 comments:

Post a Comment