Happy Birthday, Hilary Duff

Monday, September 28, 2015

Dari si lucu Wendy (Casper Meets Wendy),

childstarlet.com

lalu si manis Lizzie McGuire,
fashionstyle.com
dan dewasa di majalah Maxim.
maxim.com

Selamat ulang tahun, Hilary Duff

7 Cara Meladeni Haters

Sunday, September 27, 2015

Istilah pada judul di atas bisa jadi baru ngetren beberapa tahun belakangan ini. Seiring era keterbukaan dan ramai-ramai menunjukkan jati diri di media sosial. Lambat-laun, seseorang dianggap keren jika populer di dunia maya itu. Penyanyi yang baru mencari tempat di industri hiburan, aktor yang berakting jempolan namun belum cukup untuk mendapatkan status bintang, komikus yang ingin memperluas jaringan, sampai si bukan-siapa-siapa yang ingin terkenal saja (sumpah yang terakhir ini bukan ngomongin Dijah Yellow, ya?). Semua tumpah ruah di ranah media sosial. Hasilnya, jika ada yang suka akan menjadikan sosok itu sebagai idola dan meraih kepopularitas (dunia maya) yang besar. Istilah selebtwit, selebgram, dan selebor pun bermunculan. ;-)

Jika ada yang menyukai tentu ada pula sebaliknya. Membenci. Karena sekarang ini jamannya keterbukaan, rasa suka dan rasa benci terhadap seseidola itu pun dengan bebas langsung tersampaikan. Layangkan saja unek-unek terhadap idola kita itu. Poninya terlalu miring, katakan "Dasar otak miring, poni juga ikut miring!" Tahi lalatnya mengganggu estetika foto yang diunggah, tuliskan "Kebo betah banget brot di muka lo!" Mention saja di Twitter. Tag saja akun Instagramnya.

Nah, mereka yang selalu melayangkan unek-unek inilah disebut haters. Di mata mereka, tokoh terkenal yang mereka kritik itu tidak pernah benar. Misalnya saja seorang aktor yang berubah penampilan dengan menumbuhkan rambut di atas bibir. Langsung saja banyak komentar yang mengejek penampilannya itu. Berkumis dibilang mirip teroris. Tapi, ketika klimis dikatakan sok manis. Jadi, aku kudu piye? jerit hati seorang idola.

Beruntunglah kamu para idola atau selebritas yang tidak sengaja mampir ke blog ini, karena berikut cara-cara yang bisa kamu lakukan dalam menghadapi haters.

1. Tidak semua kritik yang disampaikan kepadamu adalah ungkapan kebencian. Jadi, jangan sedikit-sedikit menyudutkan kalau mereka haters. Siapa tahu, mereka justru memberitahukan opini yang membantu keberlangsungan kariermu. "Nyanyinya seperti suara burung gagak," begitu komen di media sosialmu. Lalu, karena panas hati kamu langsung membalas, "Kamu saja kalau kentut fals. Nggak usah ngomongin orang. Dasar hater. Saya block kamu!" Jika mau, fokus saja kepada isi kritiknya. Kalau kamu bukan orang yang lapang dalam menerima kritik, lewatkan dan scroll saja komentar itu. Tidak usah dibaca.

2. Sampaikan maaf. Di negeri tercinta kita ini, hampir semua urusan bisa selesai dengan permohonan maaf (apalagi kalau diucapkan seseorang yang cantik atau ganteng aduhai). Kamu salah mengartikan "Tut Wuri Handayani" dengan "Walaupun berbeda-beda tapi satu jua", cukup meminta maaf saja. Pasti selesai, deh, urusannya. Tapi, kalau tidak mau mengaku salah dan mohon maaf? Lalu, defensif dengan mengatakan, "Sama saja kok artinya!"? Tenang, kamu masih bisa cengar-cengir gembira, kok. Saatnya mengerahkan pasukan penggemar alias fan militan untuk membelamu!

3. Membalas haters dan memojokkannya? Salah besar! Okelah, haters memang salah dalam hal penyampaian. Mungkin dari cara menata kalimatnya yang bikin kamu emosi atau di saat membaca komentar tersebut, kamu memang lagi sensitif. Tapi, kalau kamu terpancing emosi membalasnya dengan kalimat yang lebih kasar, waduh. Bisa-bisa justru kamu yang dinobatkan menjadi hater-nya hater. Merendahkan kasta idola atau selebritas, dong. Kalau rakyat jelata (baca: penggemar) mau foto bareng atau jabat tangan saja mesti bayar, kok. Lah, ini selebritasnya malah jadi hater orang biasa. Apa kata duniaaa?

4. Tuntutlah hater sampai dipenjara. Benar. Tanggung banget kalau berbalas pantun di media sosial. Sebagai artis atau selebritas papan seterikaan, tunjukkan kalau kamu itu hebat dan kuat karena minum Milo setiap hari (kalau merk yang saya sebutkan ini hendak mengucapkan terima kasih, saya akan kirim nomor rekening saya, ya :-p). Bukan hanya akting saja yang perlu totalitas, memburu hater juga harus. Kudu! Telusuri media sosial hater itu. Cari tahu kontaknya. Di mana rumahnya? Sekolahnya kelas berapa? Apa pekerjaan bapak ibunya? Masih lajang atau sudah bercucu segudang? (Penting!). Nah, kalau sudah dapat, umumkan ke seluruh dunia! "Ini lho si hater. Mukanya jelek. Rumahnya gubug. Orangtuanya kere!" Eits, biar tetap dianggap makhluk baik hati yang berhati seputih cat tembok Dulux (nomor rekening siap dikirimkan :-p), harus ditambahkan "Saya jadi tidak tega mengajukan gugatan. Saya kasihan kepada orangtuanya." Sst, jangan lupa minta para wartawan meliput dan memberitakan kejadian ini, ya.

5. Bercerminlah. Maksud saya, bukan introspeksi atau merenung, melainkan benar-benar bercermin. Tatap pantulan wajahmu di cermin dan tanyakan, "Cermin cermin di dinding, siapa di dunia ini yang paling cantik dan memesona?" Niscaya cermin akan menjawab, "Cuma kamu seorang, wahai artis/idola/seleb kesayangan. Kalau ada yang bilang sebaliknya, itu berarti mereka sirik dan dengki!" Lalu, jawaban cermin yang ketakutan dipecahkan itupun (walau bagaimana pun dia hanya cermin kalau jawab yang lain, pasti tamat riwayatnya), jadikan itu patokanmu dalam membalas hater. Ada yang berkomentar, "Kakak, warna rambutnya kurang rata" balas saja dengan, "Saya ini cantik. Mau rambut belang bonteng juga tetap kece. Memangnya kamu? Jelek dari lahir!" Kalau masih ada yang menyahut, "Tapi, kan, jadi kelihatan kusam. Perlu di-retouch kali, Kak," kasih serangan lanjutan, "Sirik saja kamu. Dengki kok dipelihara!" lalu block saja akunnya agar tidak bisa kasih komentar lagi.

6. Gunakan jasa admin. Para selebritas, kamu harus sadar diri. Pekerjaan utama kamu adalah penyanyi/aktor/komikus/penjual buah nan ganteng/mbok pecel yang cantik ala Cam 360-nya nggak ketulungan/dll. Jadi, wajar-wajar saja kalau kamu tidak piawai menghadapi "mulut-mulut" yang berteriak di Twitter, "tangan-tangan" yang mencolek di Instagram, atau bahkan mantan komentator pertandingan sepak bola yang kehilangan pekerjaan setelah PSSI dibekukan. Tidak perlu malu apabila menyewa jasa administator yang mengelola akun media sosialmu. Malah, kamu justru terbantu, lho. Admin bisa menyeleksi kritik atau opini yang akan kamu dengar. Tentunya sudah disensor sehingga bebas dari kata-kata yang kurang mengenakkan. Jika kamu mengizinkan, admin sesekali bisa diperintahkan membalas komentar dengan kalimat standar customer service, "Maaf atas ketidaknyamanannya" atau "Terima kasih atas masukannya".

7. Tidak usah punya akun media sosial. Kalau kamu penyanyi, biarkan label atau manajemen yang mengurus promosi hasil-hasil karyamu. Begitupun jika kamu aktor. Buat si penjual buah ganteng, ya mungkin buahnya disuruh mengabarkan ke seluruh dunia tentang kegantenganmu itu. Istilah bekennya, sih, biarkan kemampuan atau karyamu yang menonjol. Yang membuatmu dibicarakan. Bukan keahlianmu twit war dengan selebritas lain atau kecanggihan telepon pintarmu yang memiliki aplikasi Bantai Haters.

Intinya, meladeni haters itu tidak perlu ikutan panas hati. Santai saja sekalem kamu senyum-senyum merasa bangga ketika membaca puja-puji dari para penggemar garis keras. Maklumi saja, kalau ada penggemar yang berlebihan dalam mengekspresikan kesukaannya terhadapmu, tentu ada saja hater yang juga berlebihan mengungkapkan opininya. Semangat ya, saaay!

Hey, It's OK to Talk About Depression

Friday, September 25, 2015

Tadi malam, saya membaca Majalah Glamour Edisi Desember 2014. Tulisan di Rubrik G Reality majalah itu sangat menyentuh. Seorang pembaca mengisahkan musibah yang terjadi kepada ayah dan adiknya dari sudut pandangnya sendiri. November 2013 lalu, Gus Deeds tiba-tiba menikam ayahnya dan kemudian bunuh diri. Untuk lebih jelasnya, bisa dibaca di sini atau mencari beritanya lewat situs pencarian Google.

Bagaimana mungkin, seorang anak yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang berniat membunuh ayahnya sendiri? Dari penuturan Rebecca di majalah tersebut, penyebab perilaku Gus ada kaitannya dengan kesehatan mental. Adiknya itu telah didiagnosa menderita Bipolar Disorder, tiga tahun sebelum peristiwa memilukan itu terjadi. Namun, Gus adalah orang dewasa, dan menurut hukum, keluarga tidak akan diberitahu urusan pribadi berkaitan dengan kesehatan itu apabila tidak diinginkan oleh sang pasien. Hubungan Rebecca dengan adiknya pun memburuk karena Gus tidak menjawab teleponnya dan menolak berkomunikasi. Sayangnya, pada saat itu Rebecca tidak menyadari bahwa yang dilakukan adiknya adalah menarik diri karena telah menyerah kalah.

"Now I know he was trying to push me away so he could give up on himself, but at the time it was devastating."
Saya sedikit mengerti dengan apa yang dikisahkan oleh Rebecca di majalah itu. Sebagai anggota keluarga yang selama ini melihat adiknya baik-baik saja (anak yang aktif, pergaulan luas, selalu ceria, dan senang bercanda), mungkin beliau tidak menyangka bahwa adiknya merasa menderita di dalam hati. Lalu, kenapa seseorang yang terlihat gembira itu justru didiagnosa dengan penyakit kejiwaan?

Saya tidak tahu dengan pasti jawabannya karena saya bukan psikiater ataupun sang ahli.

Namun, membaca artikel itu membuat saya tersadar. Terbangun dari kenyataan bahwa semua orang dalam masyarakat kita tidak baik-baik saja. Ada teman di luar sana yang terlihat ceria, namun menyimpan kedukaan dan kekosongan dalam hatinya. Ada kenalan yang bersembunyi di balik topeng kebahagiaan agar tidak dianggap rendah oleh masyarakat. Tidak digunjingkan, tidak dicibir, atau dipermalukan. Ada anggota famili yang berteriak meminta tolong tapi kita abaikan hanya karena tak mau dicap abnormal. Tak sudi satu keluarga dengan orang gila.

Depresi. Sebuah kondisi psikologis yang erat kaitannya dengan kesedihan dan perasaan kosong melompong pada kejiwaan kita. Lebih lanjut tentang depresi bisa dibaca di sini. Sering sekali kita surukkan ke bagian belakang hati kita. Bukan untuk diperkecil tapi hanya disembunyikan jangan sampai orang lain menemukannya. Akan tetapi, sebongkah depresi itu bukannya semakin menghilang namun perlahan-lahan tumbuh lalu memenuhi ruang hati kita. Mengikis rasa bahagia.

Pada satu kolom kecil di Majalah Glamour yang saya baca itu, ada tulisan yang mengajak pembacanya untuk sama-sama menanggulangi depresi atau kesehatan mental lainnya. Yuk, kita bercerita. Kita ungkapkan kegelisahan kita. Tidak apa-apa, lho, membicarakan tentang depresi ini. Kita tidak akan dicap tidak normal. Tidak akan dianggap gila. Dan tidak akan ada pandangan meremehkan dari masyarakat. Ada nomor online yang bisa dihubungi. Ada kontak tenaga ahli (psikiater, psikolog, dll) yang akan membantu. Mari saling menjaga satu sama lain, karena semua orang berhak bahagia.