Review Film Ini Kisah Tiga Dara

Thursday, September 8, 2016

Minggu lalu, saya menonton film yang terinspirasi dari film jadul Tiga Dara. Saya tidak akan membandingkan karya Nia Dinata ini dengan versi Usmar Ismail dengan alasan ini bukan remake. Dan, karena saya juga belum menonton film Tiga Dara karya Usmar Ismail tersebut.

Peringatan: pada ulasan di bawah ini akan banyak sekali spoiler. Jadi, jika tidak ingin membaca, silakan menutup blog ini:-).

Lagi-lagi, kisah perempuan yang dianggap harus mempunyai sosok pria di sampingnya. Tidak boleh melajang. Meskipun itu membahagiakan. Temanya sebenarnya menarik, tapi eksekusinya yang saya rasakan sepanjang film, sangat tidak asyik.

1. Saya tidak mengerti kenapa Oma (Titiek Puspa) yang terlihat gaul dan punya banyak teman juga piawai bersosialisasi mentok hanya dengan "menyodorkan" cucu perempuannya itu kepada para tamu hotel? Pertama, mengenalkan Gendhis (Shanty Paredes) kepada rekan bisnis Ayah (Ray Sahetapy). Namanya juga kenalan ayah Tiga Dara, masa iya tidak terpikir kalau laki-laki yang hendak dicomblangin itu pasti sudah pada punya istri dan berperut buncit? Gendhis malah ditimbang untuk jadi istri kedua. Itupun kalau istri pertama menyetujui. Kedua, tanpa ada juntrungan Oma mencari tahu tentang Yudha (Rio Dewanto), tamu hotel yang katanya akan menginap di hotel butik milik keluarga Tiga Dara. Oma ingin cucu nomor satunya itu berkenalan dengan sang tamu antah-berantah tersebut. Yang hanya diketahui telah mengirim motor gedenya terlebih dahulu ke hotel sebelum orangnya sendiri sampai.

2. Adegan tertabrak kemudian saling tertarik itu sangat sinetron/FTV sekali. Tahu, sih, inspirasinya adalah Tiga Dara yang juga mengetengahkan adegan tersebut. Tapi, ini, kan katanya lika-liku kisah cinta tiga perempuan yang kekinian? Masa tidak menciptakan adegan yang kekinian juga, sih? Saya akan lebih tertarik kalau perkenalan Gendhis dengan Yudha melibatkan rusaknya motor gede laki-laki itu. Yaaah, mungkin Gendhis yang kesal karena motor gede yang tersimpan di hotel itu menghalangi aktivitasnya mengambil stok makanan di gudang. Atau, secara tidak sengaja Gendhis menabrak motor gede itu. Hahaha. Saya memang sebal sama keberadaan motor gede yang tidak begitu berkaitan dengan sisi cerita. Itu, dan pemikiran laki-laki macam apa yang mengirimkan motor gedenya terlebih dahulu sebelum sang pemilik sampai ke tempat wisata? Laki-laki manja yang harusnya ditenggelamkan ke tengah laut Maumere. Laki-laki yang khawatir di tempat tujuannya tidak mampu meminjam/menyewa kendaraan untuk akses bepergian. Laki-laki sombong yang tidak mau membaur dan menggunakan transportasi lokal untuk berpindah tempat.

3. Oma adalah pribadi yang kolot dan masih memegang norma-norma. Yang kebelet punya cicit sehingga berusaha mencarikan laki-laki agar menikahi Gendhis. Yang pernah menyindir Manda (Cut Mini) dengan kata-kata perempuan yang terlalu mandiri tidak akan dilirik laki-laki. Yang ngotot kalau adik-adik Gendhis tidak boleh menikah duluan melangkahi kakak mereka. Oma yang dalam satu adegan digambarkan masih melakukan sholat. Bayangkan, Oma yang sama memergoki cucu bungsunya, Bebe (Tatyana Akman) bercumbu mesra dengan Erick, bule traveler yang juga tamu hotel (Richard Kyle). Apa yang Oma lakukan? Membunuh Erick? Mengusir bule tidak jelas itu? Mengurung Bebe dalam menara tinggi selama 100 tahun? Tidak. Oma pura-pura saja marah dengan omelan lembut bersahaja. Kenapa saya katakan pura-pura? Ya, tidak ada satupun kemarahan dari seseorang yang kolot dan masih menjaga norma-norma dilontarkan kepada Erick dan Bebe. Bahkan, sepanjang film sisanya, dua sejoli itu kerap cium-ciuman di manapun, tapi Oma membiarkan saja.

4. Adegan mesra yang berlebihan. Perlu lebih dari dua adegan cumbu antara Bebe dan Erick untuk menggambarkan bahwa Bebe adalah cewek 19 tahun yang binal. Yang memilih mengumbar napsunya di mana saja dan kapan saja. Terus-terang, ini bikin saya muak, lho. Tapi, tunggu dulu. Bagi sutradara ternyata itu belum cukup. Kenapa? Karena ketika fokus adegan bukanlah Bebe, melainkan Gendhis yang sedang membakar ikan misalnya, tapi tetap harus menampilkan Bebe dan Erick yang bermesraan sebagai latar belakang. Awalnya, saya bingung mengapa perlu seekstrem itu untuk menggambarkan kebinalan seseorang. Yang sedikit sekali pengaruhnya dalam menggiring cerita. Tapi, ternyata alasannya adalah untuk eksistensi sang sutradara Nia Dinata di sini, yang menggambarkan Bebe adalah seperti dirinya.

5. Bebe, si cewek binal itu hamil. Ya, iyalah. Tapi, kalau kalian mendengar cara cewek binal itu mengabarkan berita kepada Erick. Ketika sedang berdansa dan melibatkan pembicaraan dengan sesuatu yang besar, -dalam konteks vulgar tentu karena Bebe, kan, binal-. Bukan, bukan itu, demikian kata Bebe berbisik bahwa ia sudah hamil tiga bulan. Rupanya, Erick yang sangat Barat mendadak ingin menikahinya. Tapi, Bebe si anak 19 tahun cepat-cepat menolak. Tidak perlu mengawininya hanya karena dia hamil.

6. Lalu, apa kata Oma ketika Bebe menganggap harus pada saat itu juga mengabarkan kehamilannya kepada Oma? Meskipun mendapat berita ketika Oma sedang santai menikmati laut, tetap saja Oma pingsan. Ya iyalah, Oma, kan, kolot. Masa cucu nomor tiga yang dia bangga-banggakan, kok, hamil duluan, sudah tiga bulan, seperti sebuah lagu dangdut? Eh, tapi, pura-pura, deng. Karena tidak sampai semenit kemudian, Oma bangun kembali.

7. Interaksi Gendhis dan Yudha yang menyedihkan. Resep sebuah cerita romansa adalah chemistry dua pemainnya yang kental. Dari awal, penonton sudah tahu bahwa sejoli tersebut akan bersatu. Tapi, yang membuat penonton akan terlena adalah interaksi kedua tokoh itu. Dari awalnya yang tidak saling suka sehingga lambat-laun saling mencinta. Tapi, di film ini, Shanty Paredes dan Rio Dewanto tidak menunjukkan hal tersebut. Dialog antara keduanya yang sudah rumit, tidak didukung dengan ekspresi wajah mereka yang percaya akan kata-kata tersebut. Ibaratnya, Shanty dan Rio seperti mengucapkan skrip saja. Momen-momen manis yang diciptakan pun tidak menempel dalam benak. Perubahan sikap Gendhis dari yang awalnya membenci kemudian menyukai berlangsung tidak meyakinkan. Rasanya terlalu gampang jika perubahan itu hanya karena obrolan tentang mimpi di sebuah menara kayu.

8. Lho, dari tadi, kok, ngomongin Gendhis dan Bebe melulu? Ella (Tara Basro) mana Ella? Tentu saja karena tokoh Ella di sini gampang dilupakan. Kalau tujuannya memang menggambarkan Ella sebagai anak tengah yang tidak dipedulikan, berarti film ini berhasil. Tapi, kalau kehadiran Ella dimaksudkan sebagai salah satu halangan Gendhis dalam meraih tujuannya, film ini gagal total. Dalam interaksi Gendhis dan Yudha, sedianya Ella dihadirkan sebagai hambatan. Ella juga menyukai Yudha, pemilik jaringan hotel ternama. Mengapa Ella yang digambarkan ladylike ini ingin "merebut" Yudha dari Gendhis? Menurut Bebe, karena kakaknya itu kompetitif kalau menyangkut Gendhis. Sebenarnya, konflik yang intens dan lebih menarik bisa didapatkan dari persaingan dua saudara ini. Tapi, film ini tidak ingin menggali konflik yang lebih dalam. Film ini dimaksudkan riang, ringan, dan bernyanyi-nyanyi saja ibarat anggota yang dihembuskan asap asfat di Padepokan Brajamusti. Oleh sebab itu, dengan gampangnya Ella melupakan ketertarikannya kepada Yudha. Padahal, sebelumnya gadis itu digambarkan menggoda Yudha kapanpun ada kesempatan. Dengan mudahnya pula, hubungan Ella dan Gendhis yang sebelumnya tegang karena rebutan cowok, mencair begitu saja pada adegan Ella menyuruh kakaknya itu pergi menyusul Yudha.

9. Film ini adalah film musikal. Tapi, pengertian musikal di sini tampaknya diterjemahkan sebatas melagukan kata-kata. Tidak peduli kata tersebut cocok dengan musiknya. Para pelantun ketika sedang menyanyikan sebuah nomor musik pun, tidak sinkron menyuarakan aktingnya. Misalnya, Shanty yang bernyanyi di Pasar Geliting hanya sebatas menceritakan dia berbelanja di pasar tersebut. Atau ketika Bima (Ruben Elishama) bernyanyi di bawah naungan bintang-bintang dengan raut wajah datar. Padahal, ketika itu Bima, kan, sedang melantunkan perasaan cinta diam-diamnya selama ini kepada Ella. Tapi, film ini ternyata lebih mengedepankan pemandangan luar biasa ketimbang menggali emosi yang kuat dari karakternya. Tidak ada padu-padan yang asyik antara musik dan lirik lagu. Sebagai contoh, coba Anda melantunkan nomor sembilan ini dengan sedikit bernyanyi. Ya, seperti itulah lagu-lagu yang ditampilkan dalam film ini. Lalu, coba dengar lagu yang dilantunkan Bebe ketika sedang mengajar anak-anak kecil. A for Apple. I for Ironic. Hahaha.

10. Seperti lagu, koreografi gerak dalam film ini juga terasa tempelan. Apapun adegannya, gerakan badan berputar pasti ada. Maklum, yang mengatur komposisi tari dalam film ini adalah Adella Fauzi, balerina terkenal. Sama seperti musik, gerak tari di film ini tidak terasa menyatu dengan adegannya. Apalagi, para pemain yang tidak luwes menarikan. Canggung. Klemer-klemer. Tidak ada powernya.


Masa minus semua? Apa dong plusnya film ini? Ada, sih, satu. Pemandangan menakjubkan dalam setiap adegannya. Laut, pantai, rumah tradisional. Warnanya juga asyik. Tapi, kalau cuma mau menikmati pemandangan, ngapain dibikin film? Mending foto-fotonya saja dijadikan slide show. Ya, nggak?