Kekerasan di Sekolah

Sunday, May 18, 2014

Lihat, tanggal berapa post sebelum ini diterbitkan? Ya, rasa malas untuk menulis di blog ini kembali menjangkitiku. Bukan karena terlalu sibuk atau waktu yang sempit, melainkan karena aku memang sama sekali nggak tahu hendak menuangkan cerita apa di sini. Padahal, di Indonesia sendiri sedang terjadi banyak peristiwa yang mengundang komentar. Salah satunya adalah tentang kekerasan di dalam lingkungan sekolah.

Renggo Khadafi (11 tahun) tewas karena dipukuli dan dianiaya oleh kakak kelas. Penyebabnya tampak sepele. Renggo menyenggol pelaku penganiayaan sehingga esnya terjatuh. Renggo sudah meminta maaf dan mengganti es. Namun, pelaku tidak terima dan melampiaskan amarah dengan membabi buta. Kronologisnya aku kutip dari sini. Di belahan Indonesia lain, seorang guru menganiaya muridnya dengan potongan asbes. Beritanya langsung di klik saja.

Menyedihkan, ya? Kalau ternyata akar kekerasan yang selama ini menumpuk dan berkembang pada masyarakat ternyata bibitnya dari sekolah. Bayangkan, orangtua yang selama kira-kira 7 tahun pertama kehidupan anaknya membesarkan sang anak dengan santun dan penuh kelembutan. Tapi, ketika memasuki usia sekolah, didikan itu bisa saja menghilang digantikan 'budaya' kekerasan yang ditanamkan oleh sekolah. Menyedihkan.

Aku sendiri sejak dulu nggak pernah suka dengan yang namanya sekolah. Ya, aku memang datang ke lembaga pendidikan itu dan meraih nilai bagus setiap tahunnya. Tapi, aku pikir itu karena terpaksa. Bahwa tugas anak-anak itu ya sekolah. Bahwa pergi ke sekolah adalah keharusan. Bahwa anak-anak harus memperoleh nilai bagus karena kalau tidak, ya nggak akan disayang keluarga. Padahal, kalau mau jujur, ada beberapa kasus kekerasan yang juga aku alami selama bersekolah. Kasus itu mengendap karena sekolah sangat pintar untuk mengintimidasi bahwa kejadian itu tidak boleh dilaporkan ke rumah atau orangtua. Bahwa bila orangtua tahu justru mereka akan sedih karena itu berarti anaknya nakal. Dahulu, aku menganggap jika sampai orangtua datang ke sekolah, itu berarti sang anak nakal dan memiliki masalah.

Baiklah, mari aku ceritakan satu kasus kekerasan yang aku alami dan sampai sekarang tak terlupakan. Waktu SD, aku kehilangan buku. Singkat cerita, ketika diharuskan berganti teman semeja, aku duduk di samping si pencuri buku itu. Karena bukuku itu hilang, aku minta berbagi membaca buku itu saat pelajaran yang memerlukan buku itu. Ternyata, pas aku bolak-balik, aku yakin itu bukuku yang hilang. Aku bilang kalau itu bukuku. Tapi, si pencuri berkilah semua buku penampakannya sama dan itu bukan berarti bukunya adalah bukuku.

Di rumah, aku pun bercerita kepada orangtuaku kalau aku pikir bukuku dicuri. Lalu, orangtuaku datang ke sekolah. Namun, sekolah bukannya mempertemukan aku beserta orangtuaku dengan si pencuri buku dan orangtuanya. Setelah orangtuaku pulang, Kepala Sekolah memanggilku dan si pencuri buku secara bersamaan. Kepala Sekolah meragukan bukti bahwa buku itu memang bukuku. Aku tunjukkan saja kalau tulisan di beberapa lembar buku itu sama dengan contoh tulisanku, sedangkan tulisan si pencuri sangat jelek dan tidak terbaca. Lebih meyakinkan lagi, ada namaku tertulis di halaman depan buku. Walaupun, sudah dicoret tapi masih terbaca dari sela-sela coretan itu. Kepala Sekolah menasihati si pencuri buku untuk tidak lagi mengulangi perbuatannya, lalu meminta buku itu. Melihat buku yang dipegang Kepala Sekolah, aku senang karena akhirnya aku pikir bukuku bisa kembali. Tapi, apa yang terjadi? Kepala Sekolah malah menamparku dengan buku itu tanpa peringatan. Lalu, ia belum puas. Dengan tangannya sendiri ia kembali menamparku. Keras. Pipiku merah. Dan air mata bercucuran karena tak bisa kutahan. Aku masih ingat dengan jelas apa kalimatnya saat itu. Bahwa seharusnya aku tidak perlu mengadu bila menemukan masalah di sekolah. Bahwa seharusnya aku diam saja. Bahwa tidak akan ada yang mau berteman dengan anak pengadu seperti aku.

Lihat, kan? Bukannya mendapat keadilan, seorang korban malah diadili. Lebih parah lagi, kejadian itu berlangsung di tengah-tengah lapangan sekolah karena sewaktu itu Kepala Sekolah sedang patroli mengawasi anak-anak bermain. Efek dari kejadian itu tentu saja aku sangat membenci sekolah. Aku takut dengan guru-guru dan sampai sekarang aku menganggap guru adalah profesi paling hina. Sekolah bukan tempat yang aman. Kekuasaan yang dimiliki para guru bisa disalahgunakan. Anak-anak kecil seperti saya dulu yang menganggap guru adalah figur yang tak terbantah hanya bisa diam saja dan menyembunyikan peristiwa itu. Betapa gampangnya guru mengintimidasi dan memanipulasi semua kejadian adalah kesalahan murid semata. Trauma itu mengendap tidak menguap. Contoh dari peristiwa yang aku alami saja, aku jadi tidak percaya diri, menutup diri, dan tidak berani mengemukakan pendapat di depan orang yang wewenangnya lebih tinggi.

Sudahlah, jika sekolah kita masih toleran dengan kekerasan, apapun bentuknya, sekolah dibubarkan saja. Pendidikan memang perlu. Tapi, apabila proses transfer ilmu dijalankan dengan 'budaya' kekerasan, bukan tidak mungkin melahirkan generasi yang 'berkomunikasi' melalui kekerasan semata. Kalau sudah begitu, apa manfaatnya kecerdasan tinggi jika tidak diimbangi akhlak yang berbudi?